Kematian
Sore tadi, sepulang diskusi kecil di CSEAS, Kyoto University, saya baca email mengejutkan. Mashudi, kawan kuliah di UGM, mengabarkan bahwa Yusuf, kawan kami kuliah dulu telah meninggal dunia. Jam 4 sore tadi, jenazahnya disemayamkan di Kediri, kota kelahiran Yusuf.
Usianya baru 30-an tahun. Masih muda.
Setahu saya dia bekerja di Yogya. Entah apakah sudah menikah. Entah apakah sudah punya anak. Kabar terakhir yang saya terima, enam tahun lalu, dia tinggal di asrama mahasiswa UGM Dharma Putra. Saya juga pernah tinggal di sana. Berarti saat itu Yusuf masih kuliah. Setelah itu saya tidak pernah lagi mendengar kabarnya. Saya bekerja di Jakarta lalu pindah ke Surabaya, dan balik lagi ke Jakarta. Di milis angkatan kami pun, filsafatsongopapat, Yusuf nyaris tidak pernah mengirim berita.
Hingga kemudian, hari ini, berita kematiannya mengisi milis milik angkatan kami.
Sampai hari ini saya tidak tahu apa penyebab meninggalnya Yusuf. Kasino, kawan kuliah yang lain di UGM, hanya mengabarkan Yusuf telah meninggal hari ini. Mungkin Kasino juga tidak tahu kabar jelas musabab meninggalnya kawan kami.
Saya tepekur diam.
Innalillahi wa innailaihi rojiun.
Saya kaget. Saya sedih. Seperti de javu. Satu lagi kawan dekat meninggal dunia. Enam tahun lalu, di Nagoya, saya juga mendapatkan kabar yang sama. Beritanya melalui email, dari seseorang yang hingga sekarang saya tidak tahu wajahnya. Di email itu ia hanya mengaku sebagai kawan dekat Dewi Damayanti, seorang kawan sekolah SMA saya di Tuban. Dewi adalah mahasiswi kedokteran di Universitas Brawijaya. Sebelum berangkat ke Nagoya, ia sempat berjanji akan mengirim email untuk saya. Hingga kemudian, hari itu, saya menerima email yang mengabarkan bahwa Dewi telah meninggal dunia karena kecelakaan. Mobil yang ditumpanginya menabrak beton pembatas sungai sepulang menghadiri pesta perkawinan kakaknya di Jember.
Esoknya, saya baca beritanya di Jawa Pos online. Benar, Dewi telah meninggal.
Saya tidak ingin sentimentil. Kematian, laiknya kehidupan, adalah takdir. Kita pun akan mengalaminya. Cuma soal waktu. Cuma soal kapan. Entah esok, nanti, atau malah sesaat lagi. Semua akan meninggalkan kehidupan.
Kematian seorang kawan, sekedar semakin mengingatkan kita. Hidup cuma sebentar.
Seorang filsuf dengan galau pernah bergumam, "Kehidupan, kematian, betapa absurdnya". Ia merenungi kenapa harus ada kematian jika ada kehidupan. Lalu apakah arti hidup? Kenapa harus ada ide kehidupan yang lain. Apa artinya kerja keras, berbuat baik, beramal, beribadah, jika semuanya harus berakhir hanya dengan berhentinya setarikan nafas.
Kenapa begitu mudahnya semua selesai.
Sebuah kegelisahan yang manusiawi, bukan?
Tetapi benar, kematian selalu membawa duka. Sedih. Sungkawa. Kita sedih harus kehilangan orang yang kita kasihi.
Selamat jalan kawan, semoga tenang di alam baka.
Medhy Aginta Hidayat
Artikel ini bermanfaat untuk Anda? Klik disini untuk berlangganan Blogguebo.
Usianya baru 30-an tahun. Masih muda.
Setahu saya dia bekerja di Yogya. Entah apakah sudah menikah. Entah apakah sudah punya anak. Kabar terakhir yang saya terima, enam tahun lalu, dia tinggal di asrama mahasiswa UGM Dharma Putra. Saya juga pernah tinggal di sana. Berarti saat itu Yusuf masih kuliah. Setelah itu saya tidak pernah lagi mendengar kabarnya. Saya bekerja di Jakarta lalu pindah ke Surabaya, dan balik lagi ke Jakarta. Di milis angkatan kami pun, filsafatsongopapat, Yusuf nyaris tidak pernah mengirim berita.
Hingga kemudian, hari ini, berita kematiannya mengisi milis milik angkatan kami.
Sampai hari ini saya tidak tahu apa penyebab meninggalnya Yusuf. Kasino, kawan kuliah yang lain di UGM, hanya mengabarkan Yusuf telah meninggal hari ini. Mungkin Kasino juga tidak tahu kabar jelas musabab meninggalnya kawan kami.
Saya tepekur diam.
Innalillahi wa innailaihi rojiun.
Saya kaget. Saya sedih. Seperti de javu. Satu lagi kawan dekat meninggal dunia. Enam tahun lalu, di Nagoya, saya juga mendapatkan kabar yang sama. Beritanya melalui email, dari seseorang yang hingga sekarang saya tidak tahu wajahnya. Di email itu ia hanya mengaku sebagai kawan dekat Dewi Damayanti, seorang kawan sekolah SMA saya di Tuban. Dewi adalah mahasiswi kedokteran di Universitas Brawijaya. Sebelum berangkat ke Nagoya, ia sempat berjanji akan mengirim email untuk saya. Hingga kemudian, hari itu, saya menerima email yang mengabarkan bahwa Dewi telah meninggal dunia karena kecelakaan. Mobil yang ditumpanginya menabrak beton pembatas sungai sepulang menghadiri pesta perkawinan kakaknya di Jember.
Esoknya, saya baca beritanya di Jawa Pos online. Benar, Dewi telah meninggal.
Saya tidak ingin sentimentil. Kematian, laiknya kehidupan, adalah takdir. Kita pun akan mengalaminya. Cuma soal waktu. Cuma soal kapan. Entah esok, nanti, atau malah sesaat lagi. Semua akan meninggalkan kehidupan.
Kematian seorang kawan, sekedar semakin mengingatkan kita. Hidup cuma sebentar.
Seorang filsuf dengan galau pernah bergumam, "Kehidupan, kematian, betapa absurdnya". Ia merenungi kenapa harus ada kematian jika ada kehidupan. Lalu apakah arti hidup? Kenapa harus ada ide kehidupan yang lain. Apa artinya kerja keras, berbuat baik, beramal, beribadah, jika semuanya harus berakhir hanya dengan berhentinya setarikan nafas.
Kenapa begitu mudahnya semua selesai.
Sebuah kegelisahan yang manusiawi, bukan?
Tetapi benar, kematian selalu membawa duka. Sedih. Sungkawa. Kita sedih harus kehilangan orang yang kita kasihi.
Selamat jalan kawan, semoga tenang di alam baka.
Medhy Aginta Hidayat
Artikel ini bermanfaat untuk Anda? Klik disini untuk berlangganan Blogguebo.