Masyarakat Peduli TB

  
Saat seseorang mengetahui bahwa dirinya terdiagnosa kena TB prosentase kekhawatirannya sebesar 50 % dan ada juga yang berpikir untuk bunuh diri sebesar 9 %. Ketakutan ini disebabkan karena bayangan mereka akan TB yang merupakan penyakit pembunuh nomer 1 di antara penyakit menular dan berada di urutan ketiga dalam daftar 10 penyakit pembunuh tertinggi di Indonesia (SKRT 2004). Dimana sebagian besar penyakit ini menyerang kelompok usia produktif dan masyarakat ekonomi lemah. Bahkan TB menjadi penyebab tersering kematian pada ODHA. 

   Kemiskinan, lingkungan yang kumuh, padat dan terbatasnya akses untuk perilaku hidup bersih dan sehat berkaitan erat dengan TB. Disamping itu wanita hamil dan anak anak juga sangat rentan terkena TB. 

   Bicara soal TB memang tidak bisa diabaikan begitu saja. Mengingat TB adalah penyakit kronik yang salah satu kunci keberhasilan pengobatan adalah kepatuhan dari penderitanya sendiri (adherence) maka  ketika penderita sudah tahu penyebabnya dan solusi untuk mengobati serta kepatuhannya dalam meminum obat TB hingga tuntas sehingga dia menjadi sembuh. 

   Repotnya kalau penderita tidak patuh dalam meminum obatnya sehingga menjadi resisten/ kebal obat. Nah kalau sudah resisten istilahnya MDR TB, pengobatan bisa mencapai 2 tahun, efek samping jadi lebih berat, jumlah obat yang diminum juga lebih banyak dan biayanya juga semakin mahal. Belum lagi kalau menyerang organ tubuh lainnya/ komplikasi wah betapa mahalnya biaya yang harus dikeluarkan?

   Tak hanya itu saja, selain pasien TB mengalami dampak fisik berupa keterbatasan dalam melakukan kegiatan fisik secara normal mereka juga mengalami dampak sosial dan mental yaitu dikucilkan di masyarakat. 

   Beban TB khususnya di Indonesia masih sangat tinggi dimana setiap tahunnya masih ada 460.000 kasus baru dan sekitar 186 orang per hari meninggal dunia akibat .Sebanyak 1/3 kasus TB masih belum terakses atau dilaporkan. Bahkan sebagian besar kasus TB terlambat ditemukan sehingga saat diagnosa ditegakkan mereka sudah dalam tahap lanjut bahkan kuman telah resistan obat sehingga suit untuk diobati. 

   Mengingat bapakku sendiri adalah penderita TB yang sudah resisten terhadap OAT (obat anti tuberkulosis) akibat ketidakpatuhannya dalam meminum obat TB yang berjangka 6-9 bulan itu, sempat membuatku berpikir juga bagaimana dengan nasib penderita TB yang lain yang tidak/ belum terjangkau oleh pelayanan medis?

    Seperti yang sudah saya tulis di artikel saya serial 1 disini, mereka yang tidak terjangkau ini diantaranya yaitu : 

  • Pengidap TB yang tidak mendapat akses kesehatan sama sekali misalnya karena : 
  • Kemiskinan → karena miskin, tidak punya uang untuk berobat sehingga menyebabkan penderita enggan berobat.
  • Terdiskriminasi → TB itu kan penyakit menular. Karena penularannya melalui udara misalnya ketika penderita sedang berbicara atau meludah, dari batuk, bersin, dahak penderitanya maka kita bisa dengan mudah tertular yaitu ketika kuman yang terpecik tadi kita hirup. Oleh sebab itu penderita TB biasanya cenderung dijauhi orang lain karena takut ketularan tadi, akibatnya penderita akan merasa terdiskriminasi.
  • Tingkat kewaspadaan dan pengetahuan mengenai penyakit TBC yang rendah sehingga tidak tahu kapan dan mengapa harus mencari bantuan tenaga kesehatan→ nah disini diperlukan peran dari LSM (lembaga swadaya masyarakat untuk mengedukasi masyarakat tentang TB. 
  • Terbatasnya layanan kesehatan dan pendistribusian yang tidak merata, kesulitan ekonomi: biaya pengobatan, biaya transportasi dan hilangnya pendapatan, konflik dan rasa kecurigaan. 
  •  Pengidap TBC yang tidak terdiagnosa karena tidak dilakukannya pemeriksaan penunjang diagnosa TBC. Hal ini disebabkan karena gagalnya mengidentifikasi gejala dan tanda penyakit TB, tidak akuratnya alat diagnostik penyakit TBC, dan sulitnya akses ke pemeriksaan penunjang. 
  • Pengidap TBC tidak tercatat apakah sudah diobati atau belum meski sudah terdiagnosa . Hal ini disebabkan karena tidak adanya kerjasama dokter pribadi, laborat, rumah sakit, dan layanan kesehatan publik atau pemerintah atau lembaga non pemerintah , lemahnya sistem pencatatan/ pelaporan. Tidak adanya suatu kewajiban untuk pelaporan kasus penyakit TBC oleh para penyelenggara layanan kesehatan. 

   WHO memang telah mengupayakan strategi DOTS yaitu pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) sebagai langkah komprehensif dalam menanggulangi TB. 
    Dimana tujuan utama strategi DOTS yang memiliki 5 komponen utama : dukungan pemerintah, obat, mikroskop, pengawas dan laporan ini yaitu menyembuhkan 85% dan mendeteksi 70% orang-orang yang terinfeksi TB. 
   Strategi ini tidak cukup bila hanya dilakukan oleh pemerintah saja. Peran LSM sangatlah signifikan dalam menyukseskan DOTS. LSM dapat menyediakan pelayanan terkait dengan TB melalui klinik atau rumah sakit. Di sini, LSM akan berperan sebagai pelayanan baris kedua (second line treatment) untuk para penderita TB. 
   LSM bisa berperan sebagai pendidik masyarakat dalam perawatan TB. Hal ini diperlukan karena banyak dari masyarakat yang tidak mengerti tentang bagaimana gejala TB, perawatan dan cara pengobatannya. LSM juga dapat mendorong perawatan berbasis komunitas (community based care). Melalui perawatan ini, LSM mendorong komunitas untuk lebih peka terhadap penderita TB dengan program-program yang dibuat oleh komunitas tersebut. 
   Selain itu, LSM juga dapat membuat sebuah riset yang berguna untuk perkembangan dalam penanggulangan TB Selain itu, komitmen seluruh komponen masyarakat juga diperlukan dalam pengendalian TB di negara kita ini demi terwujudnya Indonesia bebas TB. Oleh sebab itu dibentuklah sebuah wadah kemitraan untuk mendukung program tersebut yang diberi nama Stop TB partnership Forum Indonesia. Kepatuhan penderita TB juga berperan penting demi kesembuhan dirinya sendiri. 
   Indonesia telah menginisiasi beberapa model inovatif untk keterlibatan pasien dalam pengobatan dan pengendalian TB. Rencana Aksi Nasional tentang keterlibatan masyarakat dan pasien TB telah disusun pada 2010. Sebuah perkumpulan Nasional pasien TB didirikan pada 2008 yaitu PAMALI TB dan piagam hak dan kewajiban pasien TB telah disusun dengan mengadopsi “Patient Charter” yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia. 
   Lalu, bagaimana dengan peran serta kita sebagai warga masyarakat dalam upaya pengendalian TB ? Langkah sederhana yang perlu kita lakukan diantaranya : 
  1. Tidak mendiskriminasi/ mengucilkan penderita TB agar mereka tidak takut dan cemas karena tidak bisa diterima di masyarakat. 
  2. Mendorong tetangga yang terdeteksi terjangkit TB serta anggota keluarganya untuk segera memeriksakan diri ke dokter apabila mengalami gejala TB diantaranya batuk lebih dari 2 minggu, demam dan keringat dingin di malam hari, nafsu makan berkurang sehingga berat badan menurun. 
  3. Memberikan informasi kepada tetangga tentang TB dan pengobatannya serta tentang pentingnya mengenakan masker bagi pasien TB agar tidak menularkan kuman bagi orang disekitarnya. 
  4. Mengingatkan tentang bahaya merokok kepada teman/ kenalan/ tetangga/ kerabat yang bisa mengakibatkan TB. 
  5. Mendeteksi secara dini TB pada anak-anak dengan gizi buruk, yang hidup dengan HIV, tinggal di tempat tinggal kumuh dan kurang ventilasi udara yang baik.
  6. Menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan perumahan di masyarakat.
sumber referensi:
- http://www.tbindonesia.or.id/
- www.kpmak-ugm.org
- www.tanyadok.com 

0 comments:

Post a Comment