Life is Beautiful


Life is beautiful. Hidup ini indah.

Marilah sejenak menghitung apa yang telah diberikan Tuhan kepada kita lewat kehidupan.

Raga yang sempurna. Jantung yang berdegup. Mata yang melihat. Telinga yang mendengar. Tangan yang bergerak. Kaki yang berjalan.

Embun pagi yang menetes. Senja yang romantis. Bintang yang bersinar. Matahari yang hangat. Malam yang syahdu.

Keluarga yang menunggu. Ayah. Ibu. Kakak. Adik. Suami. Istri. Anak-anak. Keponakan. Kawan-kawan akrab.

Rumah mungil. Ruang tamu yang nyaman. Mobil. Motor. Pekerjaan. Jabatan. Kesibukan.

Libur akhir pekan di rumah. Baca koran. Berkebun. Bersih-bersih gudang. Bermain dengan anak-anak. Bersenda gurau dengan istri melepas penat.

Masa kecil di kampung. Masa-masa sekolah. Pacaran. Kuliah.

Banyak hal sederhana yang patut kita syukuri dalam kehidupan.

Kadang hidup memang tidak berjalan seperti yang kita inginkan. Ada harapan yang tak terengkuh. Ada mimpi yang tak tercapai. Ada angan-angan yang kandas di tengah jalan.

Lalu kita kecewa. Hidup seolah mimpi buruk tak berkesudahan.

Jalaluddin Rumi pernah berkata, "Sesuatu yang tidak terjadi, membuat musibah tidak terjadi". Betapa benarnya? Kadang kita lalai menimbang kehidupan dari sisi positif. Tidak semua yang tidak terjadi dalam hidup ini adalah petaka. Kadang hal yang tidak terjadi, justru menghindarkan kita dari bencana dan kesengsaraan. Yakinlah, apapun yang terjadi dalam kehidupan ini adalah yang terbaik untuk kita.

Kehidupan -- dengan caranya sendiri -- ada untuk menyediakan dirinya demi kebahagiaan kita. Ya, hidup ini indah.

(Gambar diambil dari HospitalityJapan.com)

Medhy Aginta Hidayat

Tulisan yang relevan dengan posting ini:
Dunia Cuma Selebar Daun Kelor
Wisdom of Success (1)
Menghargai Kehidupan

Mendaftar Google Adsense


Kemarin iseng-iseng mendaftar Google Adsense. Ya, iseng-iseng. Terus terang saya benar-benar 'buta huruf' soal Google Adsense dan seluk-beluknya.

Cuma tahu Google Adsense saja. Keinginan mendaftar juga baru muncul kemarin.

Alhamdulillah, di-approved.

Untuk mendaftar, saya membuat satu blog baru berbahasa Inggris. Setelah diterima, baru saya coba memasangnya di blog Blogguebo yang berbahasa Indonesia.

Sekarang saya sedang bersemangat belajar soal Google Adsense. Tapi sedikit-sedikit. Pelan-pelan.

Tadi pagi saya kaget. Today's earning saya sudah ada. Besarnya: $ 0,26! Lumayan.

Jika ingin mendaftar Google Adsense, silahkan klik button link
"Earn Money by Showing Relevant Ads with Google Adsense" di sidebar sebelah kiri blog ini.

(Gambar diambil dari Google Adsense)

Medhy Aginta Hidayat

Artikel ini bermanfaat untuk Anda? Klik disini untuk berlangganan Blogguebo.

Tulisan lain yang relevan dengan posting ini:
Monetisasi Blog Anda: (1) Program Paid-to-Write
Klik Klik Klik Dapat Duit?
Kenapa Harus Ikut SponsoredReviews Affiliate Program?

Shinto, Genze Riyaku dan Azimat


Agama di Jepang dipahami dan dihayati dengan ringan. Enteng. Santai. Tidak beda dengan memperlakukan dimensi kehidupan material yang lain.

Saya pernah melakukan penelitian kecil-kecilan untuk sebuah kelas. Saya ingin tahu bagaimana pandangan orang Jepang terhadap agama mereka. Saya menyebar kuisioner untuk 12 orang teman Jepang. Hasilnya tidak aneh untuk orang Jepang. Tetapi mengejutkan, tentu saja, buat saya.

Dari 12 orang responden, 6 orang mengaku menganut agama Buddha, 6 orang mengaku tidak punya agama, dan tidak ada satupun yang menyebut Shinto sebagai agamanya.

Ingatan saya segera melesat kembali ke masa kecil saat duduk di bangku SD. Saat itu saya diajar bahwa Shinto adalah agama resmi orang Jepang.

Dan ternyata, tidak satupun kawan Jepang saya menulis Shinto sebagai agamanya di kuisioner yang saya bagikan. Malah banyak yang dengan enteng menulis tidak beragama.

Dari 12 orang responden, hanya 2 orang yang mengaku sering mengunjungi Jinja (Shinto) atau Tera (Buddha). Delapan orang mengaku jarang. Dan 2 sisanya mengaku hanya datang ke Jinja atau Tera saat acara tahunan Hatsumode, kunjungan pertama ke Jinja atau Tera di tahun baru, alias setahun sekali.

Yang lebih menarik, ketika saya tanyakan apa yang mereka lakukan di tempat ibadah tersebut, dari 12 responden, hanya 6 orang yang mengaku berdoa. Satu orang mengaku menemani keluarga, dan 5 orang mengaku hanya melihat-lihat (sightseeing).

Terakhir, ketika saya tanyakan apakah beribadah ke Jinja atau Tera merupakan sesuatu yang penting buat mereka, hanya 3 orang yang menjawab sangat penting. Sisanya mengaku tidak terlalu penting.

Murase Tetsuji, seorang professor di Kyoto University, di sebuah kelas mengatakan bahwa orang Jepang memang memahami agama tidak seserius penganut agama lain, semisal Islam atau Kristen. Orang Jepang dengan enteng bisa datang ke Jinja atau Tera, atau bahkan gereja untuk beribadah. Sekedar tambahan, orang Jepang terbiasa melakukan upacara kelahiran anak secara Shinto, menikah secara Shinto atau Kristen, dan melakukan upacara pemakaman secara Buddha.

Semacam ekletisisme beragama.

“Mungkin karena orang Jepang mempercayai Kami-sama (ide Tuhan) sebagai ide politeisme. Jadi kami enteng saja memperlakukan agama-agama lain, seperti halnya banyak Kami-sama yang kami sembah”, terang Murase senshei.

Lalu soal lain.

Nyaris semua aktivitas beragama di Jepang bersandar pada ide genze riyaku. Tidak peduli Buddha atau Shinto. Genze riyaku adalah praktek beragama, beribadah, berdoa yang lebih ditujukan demi keuntungan duniawi.

Orang Jepang biasa datang ke Jinja atau Tera untuk berdoa agar lulus ujian, mendapatkan kenaikan jabatan, mendapatkan kesuksesan usaha, mendapat kesembuhan dari sakit, mendapatkan pasangan hidup yang tepat, dijauhkan dari kecelakaan di jalan raya, dijauhkan dari bencana, atau dibukakan pintu rezeki. Berdoa, buat orang Jepang bukanlah untuk menyembah (to worship) Tuhan atau Kami-sama.

Yang unik, setiap Jinja atau Tera di Jepang memiliki kekhususan tersendiri dalam memberikan berkah. Semisal, jika Anda ingin berdoa agar lulus ujian masuk Tokyo University atau Kyoto University, datanglah ke Kitano Tenmangu Jinja di Kyoto. Atau semisal Anda ingin mendapatkan kekayaan materi yang berlimpah, datanglah ke Zeniarai Benten Jinja di Yokohama. Di kuil ini, ada upacara mencuci uang koin yang dipercaya akan melipatgandakan jumlah uang yang kita miliki.

Lalu soal lain lagi.

Dalam praktek beragama, orang Jepang mengenal azimat (amulets) sebagai perantara berkah yang diberikan oleh Kami-sama. Setidaknya ada tiga macam azimat yang populer di Jepang yaitu omamori, ofuda dan ema.

Omamori adalah azimat berupa kantong kecil terbuat dari kain yang diyakini berguna untuk menghindari nasib buruk. Ofuda adalah azimat berupa selembar kertas atau kayu bertuliskan doa tertentu yang diyakini berguna untuk menarik keberuntungan. Dan ema adalah permohonan doa yang ditulis diatas sepotong kayu dan digantung di dekat tempat ibadah Jinja atau Tera. Ema sering disebut surat kepada para dewa.

Buat saya pribadi, cara orang Jepang beragama menarik. Terutama jika mau ditilik pengaruhnya terhadap cara hidup dan berperilaku orang Jepang.

Ada ekletisisme, ada materialisme, tetapi ada juga (rasa) main-main.

(Gambar diambil dari TerraGalleria.com)

Medhy Aginta Hidayat

Tulisan yang relevan dengan posting ini:
Yamamba dan Perlawanan Budaya
Bertemu Kawan Lama

Liburan Yang Sepi


Sekedar catatan pendek.

Sejak tanggal 14 Februari kemarin kuliah libur. Libur Haru Yasumi (libur musim semi). Libur panjang, sampai 10 April. Nyaris dua bulan. Libur panjang yang sama dengan Natsu Yasumi (libur musim panas) di bulan Agustus-September.

Liburan kali ini aku malas kemana-kemana. Apalagi sendirian. Juga karena hampir semua tempat wisata di Kyoto sudah pernah aku kunjungi, enam tahun yang lalu.

Liburan kali ini, liburan yang sepi.

Tanggal 4 Maret nanti Mama baru datang ke Kyoto. Setelah Mama datang, baru kami akan jalan-jalan. Rencananya ke Tokyo, Osaka dan Kobe. Kalau jalan berdua pasti beda rasanya. Tetapi menunggu Mama datang rasanya lama sekali. Mungkin karena ingin segera bertemu. Mungkin karena kangen yang menggebu.

Barangkali. I miss you so much, my lovely.

(Gambar diambil dari ToursGallery.com)

Medhy Aginta Hidayat

Ikon Blogguebo


Sejak beberapa minggu yang lalu Blogguebo menggunakan Favicon gratis dari MyFavatar. Caranya simpel. Mendaftar, masukkan ikon yang Anda inginkan dan masukkan kode Favicon yang diberikan ke blog Anda. Selesai. Jika bosan dengan ikon lama, bisa diubah dengan ikon baru.

Ikon Blogguebo sendiri sederhana. Cuma huruf B dan O. Warna coklat melambangkan kesederhanaan.

Nama Blogguebo, sebenarnya bermula dari iseng-iseng.

Berawal dari celetukan, "Blog gue, bo!"

Lalu jadilah nama blog, Blogguebo.

Medhy Aginta Hidayat

Yamamba dan Perlawanan Budaya


Kulit coklat tua. Rambut pirang, sedikit putih keperakan, awut-awutan. Lipstik putih. Pewarna mata pastel. Bulu mata palsu. Lensa kontak biru. Perona wajah berkerlip-kerlip. Baju tank top. Sepatu hak tebal. Rok mini warna-warni. Gelang. Cincin. Kalung. Tas Gucci. Ikat pinggang Chanel. Telepon genggam warna pink.

Ya, yamamba!

Yamamba adalah sebutan untuk gaya fashion gadis-gadis Jepang yang mulai marak sejak tahun 1999 dan terus hidup hingga kini. Gaya ini bermula dari gaya fashion ganguro. Yang paling mencolok dari gaya fashion yamamba adalah warna kulit gelap (untuk mendapatkan warna kulit gelap ini, gadis-gadis yamamba biasa pergi ke tanning salon 3-4 kali seminggu) dengan make up serba tebal dan polesan lipstik berwarna putih. Yamamba kemudian juga digunakan sebagai sebutan bagi gadis-gadis Jepang yang berdandan seperti gambaran (dan foto) diatas.

Istilah yamamba sendiri awalnya berasal dari kata Yama-uba, nama tukang sihir perempuan yang konon hidup di lembah-lembah pegunungan yang ada di dalam cerita rakyat Jepang. Yama-uba berwajah buruk. Bermuka pucat. Rambutnya putih keperakan. Awut-awutan. Bajunya compang-camping.

Gambaran visual inilah yang kemudian melahirkan gaya fashion yamamba saat ini.

Gaya fashion yamamba awalnya lahir di Shibuya, Tokyo, pusat street fashion dan kiblat budaya pop anak muda Jepang. Dari sana, gerakan budaya baru ini merambah kota-kota besar di Jepang seperti Osaka, Nagoya, dan Kyoto. Di Osaka pusatnya adalah Namba dan Umeda. Di Nagoya, ada di Sakae dan Nagoya Eki. Di Kyoto bisa ditemui di Shijo dan Kawaramachi. Yamamba juga banyak ditemui di kota-kota lain di Jepang.

Yamamba sebenarnya tidak sekedar gaya berpakaian. Ia adalah juga gaya hidup. Juga simbol perlawanan budaya. Ia melawan, dengan terang-terangan, keyakinan bangsa Jepang sebagai bangsa yang homogen. Bangsa yang seragam.

Sebagai gaya hidup, yamamba sengaja membedakan diri dengan gaya hidup dominan bangsa Jepang. Mereka punya domain sosial sendiri. Mereka punya bahasa sendiri. Bahkan mereka juga punya tarian ritual sendiri, yang disebut para-para. Gerakannya sederhana. Sekilas mirip tari Makarena. Atau Poco-Poco di Indonesia.

Gadis-gadis yamamba dikenal dengan gaya hidup having fun. Mereka menikmati hidup dengan shopping, berbelanja barang-barang branded, jalan-jalan, menghabiskan waktu di mall, makan-makan di resto mahal, atau sekedar hang out dengan kelompoknya. Yamamba secara sadar melawan gaya hidup gila kerja bangsa Jepang yang terkenal berlebihan.

Oleh sebagian besar media Jepang (dan juga golongan konservatif) yamamba seringkali dicitrakan secara negatif. Kehidupan bebas mereka sering disebut sebagai muara maraknya seks bebas di Jepang. Kalangan moderat melihat yamamba tak lebih sebagai satu dari banyak produk budaya pop Jepang. Lihatlah Harajuku Style, manga (komik), J-Pop, karaoke ataupun Nintendo. Bagi kalangan ini tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Entahlah. Barangkali yamamba memang sedang melakukan sebuah perlawanan budaya.

Mereka melawan dengan caranya sendiri.

Sebuah perlawanan yang seksi.

Medhy Aginta Hidayat

Tulisan yang relevan dengan posting ini:
Shinto, Genze Riyaku dan Azimat
Maku-Donaru dan Biitoruzu
Hari-Hari Musim Dingin di Kyoto

Bertemu Kawan Lama


Namanya Akiko Horiba.

Ia mahasiswi doktoral Sophia University, Tokyo. Umurnya 30-an. Masih muda. Ia meneliti sejarah budaya dibalik kasus Ambon beberapa tahun silam. Soal Ambon, jangan ditanya. Ia lancar bertutur soal kasus Ambon dan analisis antropologi budaya masyarakat Ambon dari A sampai Z. Selain kuliah, Akiko juga menjadi sukarelawan untuk Habitat for Humanity, sebuah international NGO yang bergerak di bidang humanitarian activities. Untuk semua aktivitasnya itu, ia sering bolak-balik Tokyo-Jakarta-Ambon. Bahkan, dua tahun terakhir waktunya banyak habis di Indonesia.

Akiko berbahasa Indonesia dengan fasih. Kadang malah dengan gaya bahasa anak muda Jakarta. Maklum, pacarnya orang Indonesia dan tinggal di Jakarta. Mereka bertemu di Jakarta di tengah-tengah aktivitas Akiko melakukan penelitiannya. Ia bilang tahun depan akan menikah di Jakarta.

Aku agak lupa kapan tepatnya pertama kali bertemu Akiko. Mungkin Agustus 2006. Atau September. Di Jakarta. Saat itu kami sama-sama diundang seorang kawan untuk mengikuti diskusi bulanan yang diadakan Yayasan Interseksi. Tempatnya di Bukafe, kafe sekaligus rumah baca milik Hermawan Sulistyo. Saat itu tidak sempat banyak ngobrol. Cuma duduk dan mendengarkan jalannya diskusi. Namun, sebelum pulang kami sempat bertukar kartu nama. Ternyata Akiko tinggal di Kyoto. Ia cuma kebetulan kuliah di Tokyo. Kebetulan juga saat itu aku akan berangkat studi ke Kyoto.

"Semoga nanti bisa ketemu di Kyoto, ya," katanya saat itu.

Dan benar. Tadi sore aku bertemu Akiko di sebuah kedai kopi di Shijo, Kyoto. Ia sedang liburan pulang kampung. Ah, seperti mimpi. Dunia memang cuma selebar daun kelor.

Selain Akiko ada dua kawan lain bergabung. Namanya Yoshiko Nagata dan Ai Ozaaki. Dua-duanya mahasiswa Doshisha University, sebuah universitas swasta di Kyoto. Keduanya juga volunteer untuk Habitat for Humanity.

Yoshiko aku kenal ketika aku harus membuat penelitian kecil tentang aktivitas beragama orang Jepang. Kebetulan kami tinggal satu apato (apartemen). Ia di lantai sembilan, aku di lantai enam. Ia membantuku mengisi kuisioner dan berbagi pendapat tentang peran agama di mata orang Jepang. Yoshiko lahir dan besar di Osaka. Bahasa Inggrisnya fasih, di atas rata-rata. Ayahnya seorang diplomat yang saat ini bertugas di Beijing, China. Ibu dan adik laki-lakinya ikut tinggal bersama ayahnya di Beijing. Yoshiko tinggal bersama kakek neneknya di Osaka.

Ai Ozaaki baru aku kenal tadi sore. Ia kawan satu fakultas Yoshiko. Cuma beda angkatan. Ai adalah kakak kelas Yoshiko. Ai lahir dan besar di Kyoto. Keluarganya memiliki usaha kedai makan kecil di daerah Takaragaike.

Ketiga gadis Jepang ini minggu depan akan berangkat ke Indonesia. Akiko kembali ke Indonesia untuk melanjutkan penelitiannya. Sementara Yoshiko dan Ai (dan 16 kawan Jepangnya yang lain) akan berangkat ke Yogyakarta bersama Habitat for Humanity untuk sebuah program dukungan pembangunan rumah bagi korban gempa di Bantul. Tahun lalu, untuk program yang sama, mereka pergi ke Filipina.

Akiko sengaja aku pertemukan dengan Yoshiko dan Ai agar bisa bercerita tentang Indonesia. Juga tentang Yogyakarta. Maklumlah, bagi Yoshiko dan Ai, kepergian mereka ke Yogyakarta nanti adalah untuk yang pertama kalinya. Hematku akan lebih afdol bila mereka sedikit tahu tentang Yogyakarta dari sesama orang Jepang yang pernah kesana.

Dan kupikir Akiko adalah orang yang tepat untuk melakukan itu.

Akiko banyak bercerita dan memberi tips praktis bagaimana hidup di Indonesia, sebuah negeri tropis yang tentu berbeda dengan Jepang. Ia juga membagikan pengalamannya soal beda bahasa, beda budaya dan juga beda kebiasaan antara Indonesia-Jepang. Sesekali ia bertanya kepadaku dengan bahasa Indonesia ketika merasa tidak yakin dengan apa yang dikatakannya. Takut salah. Tapi dari penjelasannya yang aku dengar, Akiko berusaha menggambarkan Indonesia dengan baik, jujur apa adanya, tanpa harus jatuh menjelek-jelekkan negara yang mungkin nanti akan menjadi rumah kedua baginya.

Dari obrolan mereka aku baru tahu bahwa semua biaya sebagai volunteer ternyata mereka tanggung sendiri. Yoshiko dan Ai setidaknya harus mengeluarkan uang masing-masing 180.000 Yen (setara 14 juta rupiah) dari kantung pribadi mereka untuk perjalanan dan biaya hidup selama 3 minggu di Yogyakarta. Belum termasuk selama persiapan di Jepang. Habitat for Humanity, NGO tempat mereka bekerja sebagai volunteer hanya sebatas menfasilitasi kegiatan mereka. Di Yogyakarta, mereka juga akan turun langsung berbasah keringat bersama masyarakat Bantul untuk membangun perumahan layak huni. Mengangkat kayu, mengaduk pasir dan semen, memasang bata dan ubin serta genting.

Sungguh luar biasa. Dalam hati aku merenung, betapa mulia apa yang mereka lakukan. Dengan uang dari kantong pribadi, tanpa memandang suku, agama dan ras, mereka mau bercapek-capek membantu orang yang tidak mereka kenal, yang berada jauh dari negeri tempat mereka tinggal. Padahal jika saja mereka mau, Akiko, Yoshiko dan Ai sebenarnya tentu bisa membelanjakan uang itu untuk melancong entah ke Hawaii, Bali atau Paris. Namun toh ternyata mereka memilih membelanjakan uang itu untuk sebuah aktivitas kemanusiaan.

Ada kepentingan di balik itu? Mohon maaf, itu pertanyaan naif. Kepentingan. Betapa bisingnya alasan ini kita jadikan pembenar kecurigaan seolah hanya kita yang berhak punya kepentingan.

Bagiku apa yang dilakukan Akiko, Yoshiko dan Ai jauh lebih baik ketimbang apa yang dilakukan para oknum pejabat korup kita yang terhormat, yang sering muncul wajahnya di layar tivi, meskipun sebenarnya tidak pernah berbuat sesuatu yang berarti.

Tanpa banyak gembar-gembor, tanpa sorotan kamera, ketiga gadis ini telah berbuat sesuatu, berbagi menghargai kehidupan bagi sesamanya.

(Ki-ka: Yoshiko Nagata, Akiko Horiba, Ai Ozaaki)

Medhy Aginta Hidayat

Artikel ini bermanfaat untuk Anda? Klik disini untuk berlangganan Blogguebo.

Children Learn What They Live


Children Learn What They Live (Anak Belajar Dari Apa Yang Mereka Alami)
by Dorothy Law Nolte

If children live with criticism, they learn to condemn
(Bila anak hidup dengan kritikan, mereka belajar untuk mengutuk)
If children live with hostility, they learn to fight
(Bila anak hidup dengan permusuhan, mereka belajar untuk melawan)
If children live with fear, they learn to be apprehensive
(Bila anak hidup dengan ketakutan, mereka belajar untuk khawatir)
If children live with pity, they learn to feel sorry for themselves
(Bila anak hidup dengan belas kasihan, mereka belajar membelaskasihani diri sendiri)
If children live with ridicule, they learn to feel shy
(Bila anak hidup dengan ejekan, mereka belajar menjadi pemalu)
If children live with jealousy, they learn to feel envy
(Bila anak hidup dengan iri hati, mereka belajar menjadi pendengki)
If children live with shame, they learn to feel guilty
(Bila anak hidup dengan rasa malu, mereka belajar untuk merasa bersalah)
If children live with encouragement, they learn confidence
(Bila anak hidup dengan dukungan, mereka belajar untuk percaya diri)
If children live with tolerance, they learn patience
(Bila anak hidup dengan toleransi, mereka belajar menjadi sabar)
If children live with praise, they learn appreciation
(Bila anak hidup dengan pujian, mereka belajar untuk menghargai)
If children live with acceptance, they learn to love
(Bila anak hidup dengan penerimaan, mereka belajar untuk mencintai)
If children live with approval, they learn to like themselves
(Bila anak hidup dengan pengakuan, mereka belajar untuk menyukai dirinya sendiri)
If children live with recognition, they learn it is good to have a goal
(Bila anak hidup dengan penghargaan, mereka belajar untuk mempunyai tujuan)
If children live with sharing, they learn generosity
(Bila anak hidup dengan berbagi, mereka belajar menjadi murah hati)
If children live with honesty, they learn truthfulness
(Bila anak hidup dengan kejujuran, mereka belajar tentang kebenaran)
If children live with fairness, they learn justice
(Bila anak hidup dengan keadilan, mereka belajar menjadi adil)
If children live with kindness and consideration, they learn respect
(Bila anak hidup dengan kebaikan hati dan perhatian, mereka belajar menghargai)
If children live with security, they learn to have faith in themselves
(Bila anak hidup dengan rasa aman, mereka belajar untuk mempunyai keyakinan)
If children live with friendliness, they learn the world is a nice place in which to live
(Bila anak hidup dengan rasa persahabatan, mereka belajar menemukan kasih sayang didunia)

Medhy Aginta Hidayat

Artikel ini bermanfaat untuk Anda? Klik disini untuk berlangganan Blogguebo.

Tulisan yang relevan dengan posting ini:
Wisdom of Success
Life is Beautiful