Shinto, Genze Riyaku dan Azimat
Agama di Jepang dipahami dan dihayati dengan ringan. Enteng. Santai. Tidak beda dengan memperlakukan dimensi kehidupan material yang lain.
Saya pernah melakukan penelitian kecil-kecilan untuk sebuah kelas. Saya ingin tahu bagaimana pandangan orang Jepang terhadap agama mereka. Saya menyebar kuisioner untuk 12 orang teman Jepang. Hasilnya tidak aneh untuk orang Jepang. Tetapi mengejutkan, tentu saja, buat saya.
Dari 12 orang responden, 6 orang mengaku menganut agama Buddha, 6 orang mengaku tidak punya agama, dan tidak ada satupun yang menyebut Shinto sebagai agamanya.
Ingatan saya segera melesat kembali ke masa kecil saat duduk di bangku SD. Saat itu saya diajar bahwa Shinto adalah agama resmi orang Jepang.
Dan ternyata, tidak satupun kawan Jepang saya menulis Shinto sebagai agamanya di kuisioner yang saya bagikan. Malah banyak yang dengan enteng menulis tidak beragama.
Dari 12 orang responden, hanya 2 orang yang mengaku sering mengunjungi Jinja (Shinto) atau Tera (Buddha). Delapan orang mengaku jarang. Dan 2 sisanya mengaku hanya datang ke Jinja atau Tera saat acara tahunan Hatsumode, kunjungan pertama ke Jinja atau Tera di tahun baru, alias setahun sekali.
Yang lebih menarik, ketika saya tanyakan apa yang mereka lakukan di tempat ibadah tersebut, dari 12 responden, hanya 6 orang yang mengaku berdoa. Satu orang mengaku menemani keluarga, dan 5 orang mengaku hanya melihat-lihat (sightseeing).
Terakhir, ketika saya tanyakan apakah beribadah ke Jinja atau Tera merupakan sesuatu yang penting buat mereka, hanya 3 orang yang menjawab sangat penting. Sisanya mengaku tidak terlalu penting.
Murase Tetsuji, seorang professor di Kyoto University, di sebuah kelas mengatakan bahwa orang Jepang memang memahami agama tidak seserius penganut agama lain, semisal Islam atau Kristen. Orang Jepang dengan enteng bisa datang ke Jinja atau Tera, atau bahkan gereja untuk beribadah. Sekedar tambahan, orang Jepang terbiasa melakukan upacara kelahiran anak secara Shinto, menikah secara Shinto atau Kristen, dan melakukan upacara pemakaman secara Buddha.
Semacam ekletisisme beragama.
“Mungkin karena orang Jepang mempercayai Kami-sama (ide Tuhan) sebagai ide politeisme. Jadi kami enteng saja memperlakukan agama-agama lain, seperti halnya banyak Kami-sama yang kami sembah”, terang Murase senshei.
Lalu soal lain.
Nyaris semua aktivitas beragama di Jepang bersandar pada ide genze riyaku. Tidak peduli Buddha atau Shinto. Genze riyaku adalah praktek beragama, beribadah, berdoa yang lebih ditujukan demi keuntungan duniawi.
Orang Jepang biasa datang ke Jinja atau Tera untuk berdoa agar lulus ujian, mendapatkan kenaikan jabatan, mendapatkan kesuksesan usaha, mendapat kesembuhan dari sakit, mendapatkan pasangan hidup yang tepat, dijauhkan dari kecelakaan di jalan raya, dijauhkan dari bencana, atau dibukakan pintu rezeki. Berdoa, buat orang Jepang bukanlah untuk menyembah (to worship) Tuhan atau Kami-sama.
Yang unik, setiap Jinja atau Tera di Jepang memiliki kekhususan tersendiri dalam memberikan berkah. Semisal, jika Anda ingin berdoa agar lulus ujian masuk Tokyo University atau Kyoto University, datanglah ke Kitano Tenmangu Jinja di Kyoto. Atau semisal Anda ingin mendapatkan kekayaan materi yang berlimpah, datanglah ke Zeniarai Benten Jinja di Yokohama. Di kuil ini, ada upacara mencuci uang koin yang dipercaya akan melipatgandakan jumlah uang yang kita miliki.
Lalu soal lain lagi.
Dalam praktek beragama, orang Jepang mengenal azimat (amulets) sebagai perantara berkah yang diberikan oleh Kami-sama. Setidaknya ada tiga macam azimat yang populer di Jepang yaitu omamori, ofuda dan ema.
Omamori adalah azimat berupa kantong kecil terbuat dari kain yang diyakini berguna untuk menghindari nasib buruk. Ofuda adalah azimat berupa selembar kertas atau kayu bertuliskan doa tertentu yang diyakini berguna untuk menarik keberuntungan. Dan ema adalah permohonan doa yang ditulis diatas sepotong kayu dan digantung di dekat tempat ibadah Jinja atau Tera. Ema sering disebut surat kepada para dewa.
Buat saya pribadi, cara orang Jepang beragama menarik. Terutama jika mau ditilik pengaruhnya terhadap cara hidup dan berperilaku orang Jepang.
Ada ekletisisme, ada materialisme, tetapi ada juga (rasa) main-main.
(Gambar diambil dari TerraGalleria.com)
Medhy Aginta Hidayat
Tulisan yang relevan dengan posting ini:
Yamamba dan Perlawanan Budaya
Bertemu Kawan Lama
0 comments:
Post a Comment