Bertemu Kawan Lama


Namanya Akiko Horiba.

Ia mahasiswi doktoral Sophia University, Tokyo. Umurnya 30-an. Masih muda. Ia meneliti sejarah budaya dibalik kasus Ambon beberapa tahun silam. Soal Ambon, jangan ditanya. Ia lancar bertutur soal kasus Ambon dan analisis antropologi budaya masyarakat Ambon dari A sampai Z. Selain kuliah, Akiko juga menjadi sukarelawan untuk Habitat for Humanity, sebuah international NGO yang bergerak di bidang humanitarian activities. Untuk semua aktivitasnya itu, ia sering bolak-balik Tokyo-Jakarta-Ambon. Bahkan, dua tahun terakhir waktunya banyak habis di Indonesia.

Akiko berbahasa Indonesia dengan fasih. Kadang malah dengan gaya bahasa anak muda Jakarta. Maklum, pacarnya orang Indonesia dan tinggal di Jakarta. Mereka bertemu di Jakarta di tengah-tengah aktivitas Akiko melakukan penelitiannya. Ia bilang tahun depan akan menikah di Jakarta.

Aku agak lupa kapan tepatnya pertama kali bertemu Akiko. Mungkin Agustus 2006. Atau September. Di Jakarta. Saat itu kami sama-sama diundang seorang kawan untuk mengikuti diskusi bulanan yang diadakan Yayasan Interseksi. Tempatnya di Bukafe, kafe sekaligus rumah baca milik Hermawan Sulistyo. Saat itu tidak sempat banyak ngobrol. Cuma duduk dan mendengarkan jalannya diskusi. Namun, sebelum pulang kami sempat bertukar kartu nama. Ternyata Akiko tinggal di Kyoto. Ia cuma kebetulan kuliah di Tokyo. Kebetulan juga saat itu aku akan berangkat studi ke Kyoto.

"Semoga nanti bisa ketemu di Kyoto, ya," katanya saat itu.

Dan benar. Tadi sore aku bertemu Akiko di sebuah kedai kopi di Shijo, Kyoto. Ia sedang liburan pulang kampung. Ah, seperti mimpi. Dunia memang cuma selebar daun kelor.

Selain Akiko ada dua kawan lain bergabung. Namanya Yoshiko Nagata dan Ai Ozaaki. Dua-duanya mahasiswa Doshisha University, sebuah universitas swasta di Kyoto. Keduanya juga volunteer untuk Habitat for Humanity.

Yoshiko aku kenal ketika aku harus membuat penelitian kecil tentang aktivitas beragama orang Jepang. Kebetulan kami tinggal satu apato (apartemen). Ia di lantai sembilan, aku di lantai enam. Ia membantuku mengisi kuisioner dan berbagi pendapat tentang peran agama di mata orang Jepang. Yoshiko lahir dan besar di Osaka. Bahasa Inggrisnya fasih, di atas rata-rata. Ayahnya seorang diplomat yang saat ini bertugas di Beijing, China. Ibu dan adik laki-lakinya ikut tinggal bersama ayahnya di Beijing. Yoshiko tinggal bersama kakek neneknya di Osaka.

Ai Ozaaki baru aku kenal tadi sore. Ia kawan satu fakultas Yoshiko. Cuma beda angkatan. Ai adalah kakak kelas Yoshiko. Ai lahir dan besar di Kyoto. Keluarganya memiliki usaha kedai makan kecil di daerah Takaragaike.

Ketiga gadis Jepang ini minggu depan akan berangkat ke Indonesia. Akiko kembali ke Indonesia untuk melanjutkan penelitiannya. Sementara Yoshiko dan Ai (dan 16 kawan Jepangnya yang lain) akan berangkat ke Yogyakarta bersama Habitat for Humanity untuk sebuah program dukungan pembangunan rumah bagi korban gempa di Bantul. Tahun lalu, untuk program yang sama, mereka pergi ke Filipina.

Akiko sengaja aku pertemukan dengan Yoshiko dan Ai agar bisa bercerita tentang Indonesia. Juga tentang Yogyakarta. Maklumlah, bagi Yoshiko dan Ai, kepergian mereka ke Yogyakarta nanti adalah untuk yang pertama kalinya. Hematku akan lebih afdol bila mereka sedikit tahu tentang Yogyakarta dari sesama orang Jepang yang pernah kesana.

Dan kupikir Akiko adalah orang yang tepat untuk melakukan itu.

Akiko banyak bercerita dan memberi tips praktis bagaimana hidup di Indonesia, sebuah negeri tropis yang tentu berbeda dengan Jepang. Ia juga membagikan pengalamannya soal beda bahasa, beda budaya dan juga beda kebiasaan antara Indonesia-Jepang. Sesekali ia bertanya kepadaku dengan bahasa Indonesia ketika merasa tidak yakin dengan apa yang dikatakannya. Takut salah. Tapi dari penjelasannya yang aku dengar, Akiko berusaha menggambarkan Indonesia dengan baik, jujur apa adanya, tanpa harus jatuh menjelek-jelekkan negara yang mungkin nanti akan menjadi rumah kedua baginya.

Dari obrolan mereka aku baru tahu bahwa semua biaya sebagai volunteer ternyata mereka tanggung sendiri. Yoshiko dan Ai setidaknya harus mengeluarkan uang masing-masing 180.000 Yen (setara 14 juta rupiah) dari kantung pribadi mereka untuk perjalanan dan biaya hidup selama 3 minggu di Yogyakarta. Belum termasuk selama persiapan di Jepang. Habitat for Humanity, NGO tempat mereka bekerja sebagai volunteer hanya sebatas menfasilitasi kegiatan mereka. Di Yogyakarta, mereka juga akan turun langsung berbasah keringat bersama masyarakat Bantul untuk membangun perumahan layak huni. Mengangkat kayu, mengaduk pasir dan semen, memasang bata dan ubin serta genting.

Sungguh luar biasa. Dalam hati aku merenung, betapa mulia apa yang mereka lakukan. Dengan uang dari kantong pribadi, tanpa memandang suku, agama dan ras, mereka mau bercapek-capek membantu orang yang tidak mereka kenal, yang berada jauh dari negeri tempat mereka tinggal. Padahal jika saja mereka mau, Akiko, Yoshiko dan Ai sebenarnya tentu bisa membelanjakan uang itu untuk melancong entah ke Hawaii, Bali atau Paris. Namun toh ternyata mereka memilih membelanjakan uang itu untuk sebuah aktivitas kemanusiaan.

Ada kepentingan di balik itu? Mohon maaf, itu pertanyaan naif. Kepentingan. Betapa bisingnya alasan ini kita jadikan pembenar kecurigaan seolah hanya kita yang berhak punya kepentingan.

Bagiku apa yang dilakukan Akiko, Yoshiko dan Ai jauh lebih baik ketimbang apa yang dilakukan para oknum pejabat korup kita yang terhormat, yang sering muncul wajahnya di layar tivi, meskipun sebenarnya tidak pernah berbuat sesuatu yang berarti.

Tanpa banyak gembar-gembor, tanpa sorotan kamera, ketiga gadis ini telah berbuat sesuatu, berbagi menghargai kehidupan bagi sesamanya.

(Ki-ka: Yoshiko Nagata, Akiko Horiba, Ai Ozaaki)

Medhy Aginta Hidayat

Artikel ini bermanfaat untuk Anda? Klik disini untuk berlangganan Blogguebo.

0 comments:

Post a Comment