Mari Melahirkan Anak di Jepang


Sebenarnya tidak ada yang terlalu istimewa untuk dicatat.

Kyoto masih tetap dingin. Malah semakin dingin. Suhu 1-3 derajat Celcius. Namun menurut beberapa teman Jepang, musim dingin tahun ini aneh. Hangat. Atatakai. Tidak seperti tahun lalu, kata mereka. Saljupun, masih kata mereka, baru turun dua kali di bulan Januari yang segera akan berakhir ini. Beda dengan tahun lalu.

Aku cuma tersenyum. Tidak mengiyakan. Tapi juga tidak menolak apa yang mereka katakan. Dalam hati sebenarnya aku senang jika musim dingin ini tidak menjadi semakin dingin. Maklumlah, aku orang Indonesia yang terbiasa kepanasan. Sekarang saja, jika tidak karena sangat terpaksa, aku malas keluar kamar. Selain dingin, tentu saja -- aku juga paling malas jalan sendirian tanpa tujuan.

Jadilah hari-hariku di sini lebih banyak habis di kamar. Lebih tepatnya di depan laptop: membaca email, membaca koran (online) dan membaca blog.

Tetapi memang ada jeleknya: bahasa Jepangku jadi jarang terpakai.

Soal email, beberapa hari terakhir inbox emailku dijejali email dari milis PPI Kyoto. Tumben. Tidak biasanya. Biasanya milis PPI Jepang dan milis Angklung PPI Kyoto yang kejar-mengejar memenuh inboxku.

Aku tidak tahu pasti sebabnya. Tetapi barangkali karena bulan-bulan ini memang cukup banyak kesibukan mahasiswa Indonesia di Kyoto.

Bulan-bulan ini, Januari-Februari, banyak teman maju ujian defense. Ada yang Master. Ada yang Doctoral. Maklum, mengejar hari wisuda sebelum semester baru tiba. Karena jika lewat, konsekuensi paling buruk harus membiayai sendiri semester yang tersisa.

Selain itu bulan-bulan ini juga ada persiapan kegiatan Kongres Temu Ilmiah PPI Jepang Ke-16 yang akan diadakan di Kyoto, bulan Agustus nanti.

Yang menarik dan tidak biasa, bulan ini banyak sekali email ini: berita kelahiran. Lalu disusul rentetan ucapan selamat dan turut berbahagia atas berita kelahiran. Aku mencatat setidaknya ada empat keluarga mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Kyoto yang saat ini tengah berbahagia dengan hadirnya anggota keluarga baru mereka.

Tentu layak berbahagia. Apa pasal? Karena selain mendapatkan buah hati (dan akte kelahiran Kyoto, Jepang), mereka juga mendapatkan uang subsidi kelahiran sebesar 350.000 Yen dari pemerintah Jepang. Tidak peduli warga negara Jepang atau warga negara asing, asal menjadi peserta program asuransi kesehatan nasional, mendapatkan subsidi ini. Selain subsidi kelahiran, si kecil juga mendapatkan subsidi tambahan sebesar 10.000 Yen per bulan semenjak lahir hingga usia 2 tahun. Dengan kurs 78 Rupiah untuk setiap 1 Yen Jepang, lumayan sekali jumlah uang ekstra yang bisa didapat, bukan?

Soal kelahiran anak ini jadi topik bahasan tersendiri di milis tersebut. Beberapa teman kemudian iseng-iseng mencoba menghitung-hitung berapa jumlah anak yang musti dibuat untuk mendapatkan sebuah mobil roda empat begitu pulang ke Indonesia. Yang lain berandai-andai strategi investasi perbankan macam apa yang kiranya paling tepat untuk mendapatkan hasil maksimal dari tabungan si anak.

Sementara itu, teman yang lain tergoda menghitung-hitung berapa tahun lamanya harus bertahan di Jepang demi mendapatkan tambahan uang muka cicilan rumah begitu balik ke kampung halaman. Dengan uang beasiswa 172.000 Yen per bulan dan peluang bekerja paruh waktu (arubaito) di sela-sela kuliah, ditambah subsidi-subsidi ini dan itu, memang lumrah jika beberapa kawan jadi tergoda berhitung-hitung berapa tabungan yang bisa dibawa pulang ke Indonesia. Mohon Anda jangan iri atau dengki. Mungkin itu memang sudah rezeki teman-teman mahasiswa Indonesia yang belajar di Jepang.

Topik lain yang cukup banyak menarik perhatian di milis PPI Kyoto adalah kabar bakal turunnya nilai beasiswa Monbukagakusho. Dulu besarnya 184.000 Yen per bulan. Terakhir aku menerima 172.000 Yen per bulan. Ada kabar, per April 2007 akan turun menjadi 170.000 Yen per bulan. Lalu akan berangsur-angsur turun sampai kisaran 155.000 Yen per bulan.

Wah, jika benar penurunannya sebesar itu, memang lumayan juga. Untuk hidup tentu masih cukup, bahkan dengan keluarga dan 3 anak sekalipun. Tetapi yang pasti, tabungan yang akan dibawa pulang jadi berkurang. Lho, aku kok jadi ikut kepikiran juga, ya. Hahaha. Eh, atau jangan-jangan karena beasiswa bakal turun inilah banyak teman mahasiswa Indonesia yang ngebut mencuri start membuat anak lagi di Jepang. Ini barangkali, lho. Bukan tuduhan.

Dari koran lain, memang ada kabar perekonomian Jepang sedang mengalami masa-masa sulit. Resesi, kata mereka. Tetapi kondisi resesi di Jepang mohon jangan dibayangkan rakyat Jepang hidup berkesusahan. Sebagai negara terkaya kedua di dunia setelah Amerika Serikat, ukuran resesi ekonomi Jepang tentulah masih sangat sangat jauh di atas ambang batas kemakmuran negara yang sedang berkembang.

Dari blog seorang teman aku juga membaca bahwa pemerintah Jepang memang sengaja menurunkan nilai beasiswa Monbukagakusho namun akan menambah jumlah mahasiswa penerima beasiswa tersebut.

Sisi baiknya: jika tertarik belajar ke Jepang, berarti semakin besar peluang untuk mendapatkan beasiswa.

Nah, Anda tertarik belajar ke Jepang? Atau, tertarik membuat anak lagi di Jepang? (Ini sisi baik juga, bukan?)

Medhy Aginta Hidayat

Artikel ini bermanfaat untuk Anda? Klik disini untuk berlangganan Blogguebo.

Tulisan yang relevan dengan posting ini:
Yamamba dan Perlawanan Budaya

0 comments:

Post a Comment