Cuek is The Best
Akhir-akhir ini pikiran saya agak terusik dengan sikap dan omongan orang yang sangat tidak enak untuk didengar. Tadinya saya cuek saja tapi karena hampir setiap hari begitu, saya selalu merasa terusik dan tidak nyaman ketika berbelanja di pasar dekat rumah. Setiap pagi saya selalu ke pasar untuk membeli sayuran segar untuk dimasak.
Karena masih pagi belum banyak pembeli disitu, hanya ada beberapa penjual yang menunggu pembeli datang. Mereka bergerombol sedang asyik merumpi. Rupa-rupanya dari jauh mereka membicarakan saya. Mereka melihat saya membeli sayur dalam jumlah sedikit dan bahannya itu-itu saja. Entah apa yang membuat mereka begitu peduli pada saya. Orang kok keponya luar biasa. Mungkin karena mereka ga ada kerjaan kali. Kadang saya berpikir, “Aku ini salah apa ya?” Mereka kan tidak tahu keadaan saya dan saya tidak perlu menjelaskan mengapa saya membeli bahan makanan dalam jumlah sedikit setiap hari. Mereka tidak tahu pergumulan saya dan rasa-rasanya akan capek sendiri kalau harus menjelaskan ke mereka. Toh saya pernah jujur mengatakan bahwa saya ini sakit dan tidak bisa makan seperti orang normal (bisa makan apa saja dan dimana saja) .
Memang tampak luar saya tidak keliatan seperti orang sakit. Saya memang pernah sakit cukup lama kena gangguan pencernaan, tapi meski begitu saya tetap jaga makan. Saya harus tetap kuat demi hidup bersama bapak yang sudah sepuh. Tapi apa yang mereka katakan? “Ah loro opo? Wong ketok sehat og loro?”
Karena masih pagi belum banyak pembeli disitu, hanya ada beberapa penjual yang menunggu pembeli datang. Mereka bergerombol sedang asyik merumpi. Rupa-rupanya dari jauh mereka membicarakan saya. Mereka melihat saya membeli sayur dalam jumlah sedikit dan bahannya itu-itu saja. Entah apa yang membuat mereka begitu peduli pada saya. Orang kok keponya luar biasa. Mungkin karena mereka ga ada kerjaan kali. Kadang saya berpikir, “Aku ini salah apa ya?” Mereka kan tidak tahu keadaan saya dan saya tidak perlu menjelaskan mengapa saya membeli bahan makanan dalam jumlah sedikit setiap hari. Mereka tidak tahu pergumulan saya dan rasa-rasanya akan capek sendiri kalau harus menjelaskan ke mereka. Toh saya pernah jujur mengatakan bahwa saya ini sakit dan tidak bisa makan seperti orang normal (bisa makan apa saja dan dimana saja) .
Memang tampak luar saya tidak keliatan seperti orang sakit. Saya memang pernah sakit cukup lama kena gangguan pencernaan, tapi meski begitu saya tetap jaga makan. Saya harus tetap kuat demi hidup bersama bapak yang sudah sepuh. Tapi apa yang mereka katakan? “Ah loro opo? Wong ketok sehat og loro?”
Malam itu saya merasa jiwa saya begitu lemah hingga terbesit lagi kata-kata ibu-ibu di pasar. “Kowe ben dino kok tuku janganan kui kui wae to? Opo ga bosen?” belum sempat saya menjawab, eh ada ibu penjual lain yang nyeletuk, “ Halah paling ra iso masak liyane.” Saya sampai tak sanggup menjawab. Keesokan harinya teman penjual lain menghampiri saya, “ngono iku mbok masak opo? Tuku og saumprit?” Saya mikir, “yang penting kan saya ga pernah hutang? Masalah buat elu?”
Ah tapi saya tak sanggup membalas ucapan mereka yang menyinggung saya. Bahkan entah saking tak puasnya, tangan saya di geret dan dihadang mereka menanyakan pertanyaan yang sama setiap hari dengan jawaban yang sama dan rasanya tidak butuh jawaban. Apakah jika tidak bisa memasak itu sebuah dosa atau aib bagi seorang wanita? Mengapa ada perasaan terhakimi menghantui saya? Saya berpikir panjang, apa gunanya berdebat dengan mereka. Saya seorang diri masa ya lawan orang di pasar yang nge gank gitu?
Rasanya percuma saja kalau saya membela diri. Memang saya hanya bisa memasak itu itu saja, karena saya menyesuaikan dengan penerimaan lambung saya.Apa salahnya jadi vegetarian? Toh yang saya masak dan makan bergizi. Dengan pantangan makan sedemikian rupa, apa yang bisa dilakukan oleh orang yang punya kelemahan pencernaan seperti saya? Saya memang sudah sembuh dari bile refluks, tapi sampai kini sudah 4,5 tahun berlalu saya tetap menjaga makan agar tidak kambuhan. Dan masalah saya membeli bahan makanan sedikit itu karena di rumah saya banyak tikus, ga bisa simpan sayur lama-lama karena tak punya kulkas.
Ah tapi saya tak sanggup membalas ucapan mereka yang menyinggung saya. Bahkan entah saking tak puasnya, tangan saya di geret dan dihadang mereka menanyakan pertanyaan yang sama setiap hari dengan jawaban yang sama dan rasanya tidak butuh jawaban. Apakah jika tidak bisa memasak itu sebuah dosa atau aib bagi seorang wanita? Mengapa ada perasaan terhakimi menghantui saya? Saya berpikir panjang, apa gunanya berdebat dengan mereka. Saya seorang diri masa ya lawan orang di pasar yang nge gank gitu?
Rasanya percuma saja kalau saya membela diri. Memang saya hanya bisa memasak itu itu saja, karena saya menyesuaikan dengan penerimaan lambung saya.Apa salahnya jadi vegetarian? Toh yang saya masak dan makan bergizi. Dengan pantangan makan sedemikian rupa, apa yang bisa dilakukan oleh orang yang punya kelemahan pencernaan seperti saya? Saya memang sudah sembuh dari bile refluks, tapi sampai kini sudah 4,5 tahun berlalu saya tetap menjaga makan agar tidak kambuhan. Dan masalah saya membeli bahan makanan sedikit itu karena di rumah saya banyak tikus, ga bisa simpan sayur lama-lama karena tak punya kulkas.
Saya cuma tinggal berdua dengan bapak, Jadi wajar saja kalau saya tidak pernah membeli sayur dalam jumlah banyak. Tidak seperti ibu-ibu yang lain yang belanja langsung banyak karena punya keluarga besar, Saya menulis ini hanya untuk melepaskan stress, saya tak ingin memendam dalam hati dan mengakibatkan jiwa saya makin tertekan. Perasaan tak nyaman itu kembali muncul setiap saya ke pasar. Saya jadi takut dihakimi hanya karena saya tidak seperti orang pada umumnya.
Ini tidak mungkin terjadi kalau saya tinggal di kota dengan individualism masyarakat yang tinggi. Apakah ini karena saya tinggal di desa dimana orang kurang kerjaan dan suka kepo ngurusi orang lain? Atau jika mau berpikir positif, ah itu tandanya mereka simpatik dan perhatian pada saya. Apapun itu saya coba memotivasi diri saya sendiri untuk selalu merasa bebas meski orang lain mengecilkan semangat saya. Setiap kali saya coba sampaikan ke bapak tentang masalah saya, bapak selalu bilang, “mbarke rak wes.” Jadi terpendam di hati, dan itu yang membuat tertekan. Banyak hal yang dipendam bisa jadi sumber penyakit. Cuek is the best itu bener banget. Kita tidak bisa menyenangkan semua orang karena pada dasarnya manusia itu selalu merasa kurang puas. Yang terpenting adalah reaksi kita dalam menyingkapinya.
Kalau saya boleh menyimpulkan, orang itu bisanya 3N. Nonton, Nanggap, dan Ngeploki. Kalau sedang naik daun disanjung dipuji tapi terkadang jika sedang turun, atau alami kemunduran financial misalnya eh ditanggap dikeploki. Seorang penonton akan tetap jadi penonton, Jika mereka disuruh memerankan peran yang kita jalani, belum tentu mereka bisa. Baiklah anggap saja ini angin lalu. Makin dipikirkan makin makan hati. Semoga Tuhan menggerakkan hati mereka agar berhenti mengusikku
Ini tidak mungkin terjadi kalau saya tinggal di kota dengan individualism masyarakat yang tinggi. Apakah ini karena saya tinggal di desa dimana orang kurang kerjaan dan suka kepo ngurusi orang lain? Atau jika mau berpikir positif, ah itu tandanya mereka simpatik dan perhatian pada saya. Apapun itu saya coba memotivasi diri saya sendiri untuk selalu merasa bebas meski orang lain mengecilkan semangat saya. Setiap kali saya coba sampaikan ke bapak tentang masalah saya, bapak selalu bilang, “mbarke rak wes.” Jadi terpendam di hati, dan itu yang membuat tertekan. Banyak hal yang dipendam bisa jadi sumber penyakit. Cuek is the best itu bener banget. Kita tidak bisa menyenangkan semua orang karena pada dasarnya manusia itu selalu merasa kurang puas. Yang terpenting adalah reaksi kita dalam menyingkapinya.
Kalau saya boleh menyimpulkan, orang itu bisanya 3N. Nonton, Nanggap, dan Ngeploki. Kalau sedang naik daun disanjung dipuji tapi terkadang jika sedang turun, atau alami kemunduran financial misalnya eh ditanggap dikeploki. Seorang penonton akan tetap jadi penonton, Jika mereka disuruh memerankan peran yang kita jalani, belum tentu mereka bisa. Baiklah anggap saja ini angin lalu. Makin dipikirkan makin makan hati. Semoga Tuhan menggerakkan hati mereka agar berhenti mengusikku
0 comments:
Post a Comment