Membangun Jati Diri dengan Kekuatan Emosi
pinjam gambar |
Ermalen Dewita, perempuan yang dikenal sebagai motivator pemberdayaan diri ini, mengatakan bahwa emosi adalah bagian dari kekayaan diri yang tidak boleh diabaikan. “Dengan adanya emosi, kita dapat memberi warna, makna, dan tekstur dalam kehidupan ini. Menghadirkan perasaan gembira, sedih, marah, benci, dan kepuasan akan sesuatu. Emosi adalah energi yang dihasilkan dari perpaduan pikiran dengan perasaan. Informasi diterima otak berupa kata-kata. Kata-kata tersebut diberi makna dan rasa oleh pikiran. Makna dan rasa itulah yang disebut emosi,” urainya.
Seperti halnya pikiran manusia memiliki kemampuan untuk menghasilkan gelombang energi yang luar biasa, maka emosi pun sangat kuat pengaruhnya. Bahkan dalam banyak hal, pengaruhnya bisa melebihi energi universal. Semua yang kita tarik ke dalam realitas fisik, tercipta berdasarkan pikiran dan kekuatan emosi tersebut.
Emosi juga berfungsi sebagai perekat yang menghubungkan Anda dengan orang lain dan memberi arti bagi kehidupan. Karena itulah, emosi menjadi dasar untuk membangun dan mengembangkan jati diri. Juga sebagai dasar untuk memahami diri maupun orang lain di sekitar kita.
“Jati diri adalah karakteristik seseorang yang membuat ia berbeda dari yang lain. Untuk bisa memiliki jati diri yang kuat, kita perlu memahami diri sendiri secara menyeluruh. Baik itu tentang cirri-ciri diri, pola pikir, kekuatan, dan kelemahan. Kita juga perlu memahami reaksi emosi dalam berbagai kondisi, dan mengerti mengapa kita berbeda atau serupa dengan orang lain. Demikianlah cara kita membangun jati diri melalui kekuatan emosi,” ujar Motivator yang selalu berpenampilan segar dan modis ini.
Pembentukan jati diri adalah fokus utama psikososial selama masa remaja. Remaja mulai menunjukkan tanda-tanda pencarian jati diri mereka dengan mencoba versi yang berbeda dari yang mereka miliki sebelumnya, misalnya dengan mengenakan berbagai gaya busana atau mendengarkan berbagai jenis musik. “Seringnya melakukan perubahan merupakan hasil dari sebuah pencarian jati diri yang mungkin tampak membingungkan orangtua. Tapi sebenarnya, perilaku mereka normal dan sehat. Hanya saja memerlukan dukungan moral dari orangtuanya,” tambah Dewi, panggilan akrab dari Ermalen Dewita ini.
Ketika seseorang sudah mampu melewati fase pembentukan jati diri di masa remaja, maka ia akan siap menjalani fase kehidupan berikutnya. Di mana ia akan dihadapkan pada tantangan baru, yang memerlukan penguatan maupun pengayaan jati diri selanjutnya.
Agar dapat sukses menjalani setiap fase tersebut, Ermalen Dewita menekankan pada pengolahan kekuatan emosi. Emosi perlu dikenali, dilatih, dan dikendalikan; agar bisa mendukung proses perkembangan kesadaran diri. “Jika kita mampu mengendalikan emosi, kita dapat berpikir jernih dan kreatif. Kita akan mampu mengelola beragam situasi dan tantangan, berkomunikasi dengan baik pada orang lain, memperlihatkan kepercayaan, empati, dan penuh percaya diri,” kata Dewi lagi.
Sebaliknya, jika emosi tidak terkendali, maka yang akan muncul adalah rasa bingung, terisolasi, tidak berdaya, dan aneka kondisi negatif yang merugikan. Karenanya, Motivator yang juga penulis buku Magnet Cinta ini menyarankan agar setiap orang menaruh perhatian pada aspek pengembangan emosi, dan melatih mengontrol reaksinya ketika menghadapi situasi yang berbeda-beda. Dengan demikian, maka kita dapat menikmati kehidupan yang lebih baik serta kualitas hubungan dengan orang lain yang lebih memuaskan.
0 comments:
Post a Comment