Zemi, 3 Derajat Celcius dan Pensil
Aahh, akhirnya bisa menulis lagi barang satu dua paragraf di blog ini setelah "liburan" seminggu. Ya, libur karena harus "tiarap" mengejar deadline penelitian di kampus ("tiarap" ini ungkapan teman-teman saya di Kyoto jika sedang bersitegang waktu dengan tuntutan Senshei dan beban riset yang harus segera diselesaikan).
Mohon maaf bila selama seminggu belakangan blog ini rumpang (hiatus, red).
Hari ini Kyoto dingin sekali. Sejam yang lalu, pukul 22.30, sepulang dari kampus, suhu udara sudah menyentuh 3 derajat Celcius. Malam seperti membeku. Sambil bersepeda pulang ke asrama, badan menggigil. Kulit mengering. Wajah mengeras. Telinga berdenging. Uap air keluar saat bernafas. Meskipun sudah berbaju rangkap tiga, dingin masih juga membuat tulang-tulang ngilu. Maklumlah, sebagai orang dari sebuah negeri tropis, saya tidak cukup akrab dengan udara dingin. Sebaliknya, saya terbiasa merasa nyaman dengan udara panas dan gerah.
Sejam yang lalu, saya baru saja selesai Zemi di kampus. Zemi? Ehhmm, ini kebiasaan unik orang Jepang. Mereka terbiasa menyingkat kata-kata asing (terutama dari bahasa Inggris) yang telah diserap ke dalam bahasa Jepang. Zemi sebenarnya kepanjangan dari "seminar". Tentu dari bahasa Inggris. Demi memudahkan pelafalan, orang Jepang mengucapkannya dengan Zemi. Contoh lain adalah "apato" untuk menyebut "apartement", "depato" untuk menyebut "department store" dan "konbini" untuk menyebut "convenient store" (semacam Indomaret di Indonesia).
Zemi ini rutinitas mingguan. Setiap Selasa malam, dari jam 19.30 sampai jam 22.00 saya harus mempresentasikan kemajuan riset saya. Tentu di depan Senshei. Dan di depan mahasiswa-mahasiswa lain yang dibimbing oleh Senshei saya. Di kelas Zemi saya, semester ini ada 8 mahasiswa. Lima mahasiswa Jepang. Dua mahasiswa China. Dan saya seorang yang berasal dari Indonesia. Bahasa pengantar yang dipakai, tentu saja bahasa Jepang. Tapi khusus untuk saya, Senshei berbaik hati mengizinkan saya menggunakan bahasa Inggris. Maklumlah, sungguh tidak mudah berdiskusi dan saling menyanggah dalam ruang diskusi ilmu sosial, dengan bahasa Jepang. Barangkali agak berbeda dengan ilmu-ilmu pasti. Dan lagi, bahasa Jepang saya masih jauh dari memuaskan. Masih harus banyak belajar. Dan untungnya lagi, Senshei saya cukup bagus dalam berbahasa Inggris.
Ngomong-ngomong soal kampus, mumpung ingat, saya sempat mencatat beberapa hal sepele yang cukup menarik mengenai kebiasaan mahasiswa dan lingkungan kampus di Jepang.
Semisal: tahukah Anda kebanyakan mahasiswa Jepang lebih suka menggunakan pensil ketimbang ballpoint untuk menulis? Bahkan mahasiswa setingkat Master dan Doktoral sekalipun? Ya, mahasiswa Jepang lebih suka menggunakan pensil saat menulis.
Saat saya tanya kenapa lebih suka pakai pensil, jawaban mereka sederhana: biar gampang menghapus. Hehehe. Bener juga. Tambahan, harganya lebih murah.
Selain lebih suka menggunakan pensil, mahasiswa Jepang - tidak peduli laki-laki atau perempuan - juga suka membawa kotak pensil ke kampus. Gambarnya lucu-lucu, persis seperti kotak pensil anak saya yang masih playgroup. Ada Doraemon, Naruto, ada pula Pokemon. Tapi alasan mereka membawa kotak pensil sangat bisa dimengerti: praktis. Dan lucu. Childish? Sama sekali bukan. Orang Jepang memang sangat suka segala sesuatu yang lucu dan imut. Kawaii, kata mereka. Kawainess tidak ada hubungannya dengan sifat kekanak-kanakan.
Hal lain yang saya amati, meja dan kursi kelas-kelas di Jepang sangat bersih dari coretan-coretan iseng mahasiswa. Di Indonesia, bukan hal yang aneh jika kita jumpai gambar hati dan anak panah, atau tanda tangan, atau ucapan salam untuk seseorang di meja atau kursi kampus. Barangkali justru aneh jika ada kursi atau meja yang kosong, bersih tanpa coretan. Kadang-kadang saya berpikir, kenapa tidak ada sedikitpun terbersit keisengan mereka - mahasiswa-mahasiswa Jepang ini - untuk sekedar mengungkapkan isi hati mereka lewat kursi atau meja di kampus? Ya, seperti kita menulis "I love you, Meta" atau "Salam dari Anto - Akuntansi 2001" di kursi atau meja-meja kampus di Indonesia? :)
Saat saya tanya kenapa kursi dan meja di kampus sangat bersih dari coretan, seorang teman Jepang saya menjawab enteng: ini milik kampus, bukan milik saya. Lugas. Tapi betapa benarnya.
Soal lain: toilet yang bersih dan (lagi-lagi) bebas coretan. Saya nyaris tidak pernah menemukan toilet yang kotor dan bau di kampus (dan juga di tempat umum lainnya di Jepang). Tissue selalu tersedia. Juga tidak ada pintu toilet yang dipenuhi coretan politik atau gambar porno seperti jamak kita temui di toilet kampus-kampus kita di Indonesia.
Begitulah Jepang. Dimana-mana bersih. Rapi. Tertata. Tertib. Teratur.
Tapi diam-diam (sungguh) saya rindu keisengan ala Indonesia.
(Gambar diambil dari EastLakeDerry.com)
Medhy Aginta Hidayat
Tulisan yang relevan dengan posting ini:
Hari-Hari Musim Dingin di Kyoto
Shinto, Genze Riyaku dan Azimat
Maku-Donarudo dan Biitoruzu
0 comments:
Post a Comment