Sretna Nova Godina!


Tahun 2007.

Ijinkanlah saya -- pemilik Blogguebo ini -- dengan rendah hati dan tulus, menyampaikan ucapan selamat. Dari saya, untuk Anda yang telah tulus membaca:

"Selamat Tahun Baru (untuk Anda yang bisa berbahasa Indonesia); Happy New Year (untuk Anda yang bisa berbahasa Inggris); Bonne Annee (untuk Anda yang bisa berbahasa Perancis); Gelukkig Nieuwjaar (untuk Anda yang bisa berbahasa Belanda)

; Prost Neujahr (untuk Anda yang bisa berbahasa Jerman); Kali Xronia (untuk Anda yang bisa berbahasa Yunani); Hauoli Makahiki Hou (untuk Anda yang bisa berbahasa Hawaii); Shana Tova (untuk Anda yang bisa berbahasa Hebrew); Akemashite Omedeto (untuk Anda yang bisa berbahasa Jepang); Felix Sit Annus Novus (untuk Anda yang bisa berbahasa Latin); Manigong Bagong Taon (untuk Anda yang bisa berbahasa Tagalog); Feliz Ano Nuevo (untuk Anda yang bisa berbahasa Spanyol); Buon Anno (untuk Anda yang bisa berbahasa Italia); Aam Saiid (untuk Anda yang bisa berbahasa Arab)."

"Sretna Nova Godina (untuk Anda yang bisa berbahasa Bosnia)."

Saya seorang omniglot? Ah, Anda bisa-bisa saja.

Medhy Aginta Hidayat
Pemilik Blogguebo

Seminggu Kemarin Kyoto-Osaka


Ah, akhirnya bisa duduk lagi disini. Barang sejam dua jam. Atau lebih. Laptop ini sudah seminggu tidak tersentuh. Juga blog ini.

Kangen ingin menulis blogdiary lagi.

Seminggu kemarin aku memang tidak menulis apapun. Tidak ada posting baru. Malas? Bukan. Ada alasan yang lebih bagus. Alasan klise: sibuk. Sebelum liburan selalu ada lebih banyak kerjaan. Biasanya begitu, bukan? Setumpuk kerjaan menunggu: tugas kuliah, paper, kuisioner, Power Point untuk presentasi, tenggat report, ujian. Minggu kemarin aku juga harus ke Osaka. Dua kali.

Aktivitas seminggu kemarin seperti ini.

Senin, 18 Desember 2006
Kuliah bahasa Jepangseperti biasa. Seperti biasa juga, banyak PR. Juga ada kuis harian. Masih tetap susah mengingat kosakata baru. Malamnya mengerjakan draf kuisioner untuk kelas Society and Culture in Japan. Rencana, besok mulai menyebarkan kuisioner.

Selasa, 19 Desember 2006
Ini hari yang panjang. Hari ini ada 3 kelas. Mulai jam 8.45 sampai jam 6 sore. Lumayan capek. Kelas yang paling menggerahkan: Kanji 1. Sungguh, ini bukan kelas favorit. Kesan pertama, mengerikan. Selanjutnya, ampun-apunan. Pertama, huruf Kanji sendiri sudah susah untuk orang Indonesia seperti aku. Kedua, senshei di kelas ini bahasa Inggrisnya nyaris nol. Mari kita bayangkan. Belajar huruf Kanji dengan bahasa pengantar Nihongo (bahasa Jepang). Betapa susahnya. Bagus jika bahasa Jepang mahasiswa di kelas ini level Advanced. Lha, ini baru Elementary 1! Puyeng. Kawan-kawan China yang paling aman. Mereka malah lebih jago dari orang Jepang kalau soal Kanji. Yang lucu, jika ada pertanyaan dalam bahasa Inggris, senshei minta diterjemahkan dulu ke bahasa China. Setelah ia menjawab dalam bahasa China, barulah kawan dari China menterjemahkan kembali ke bahasa Inggris. Sementara senshei berdiskusi soal pertanyaan itu dalam bahasa China, kami yang lain bengong. Atau keki cuma jadi pendengar. Atau sebel. Atau tertawa ngikik. Lucu sih. Mungkin ide yang baik kalau kami belajar bahasa China dulu baru mengambil kelas Kanji ini. Pulang dari kampus jam 6 sore, langsung ke Klexon. Klexon kepanjangan dari Kyoto Language Exchange Salon. Ini forum pertukaran bahasa dan budaya. Setiap Selasa malam kami berkumpul dan saling belajar bahasa Inggris dan Jepang. Cukup menarik. Mungkin bisa ditiru di Indonesia. Jika ingin tahu lebih banyak, bisa berkunjung ke website Klexon. Jam 12 baru sampai asrama. Sholat. Tidur. Capek.

Rabu, 20 Desember 2006
Kuliah 2 kelas. Selesai jam 14.30. Begitu kelas bubar langsung ke stasiun kereta Demachiyanagi. Hari ini harus ke Osaka menyerahkan report kerjaan. Perjalanan Kyoto-Osaka satu jam. Lumayan bisa duduk dan tidur di kereta. Sampai Osaka masih ada waktu sebentar. Sempat beli Onigiri dan juz kotak karena perut keroncongan. Setelah itu jalan ke Westin Hotel Osaka. Meeting. Jam 8 selesai. Jam 9 sampai asrama lagi. Setelah itu masak, makan, sholat terus tidur. Besok harus presentasi.

Kamis, 21 Desember 2006
Hari ini cuma kuliah 1 kelas. Masuk jam 10.30. Tapi harus presentasi di kelas. Persiapan udah oke. Jadi tinggal maju perang. Alhamdulillah, lancar. Selesai kuliah jam 14.30 langsung meluncur ke Sanjo-Teramachi. Ini downtown-nya Kyoto. Aku cuma ingin mengambil beberapa foto suasana hiruk-pikuk orang disana. Juga street fashion anak-anak muda Jepang. Tahu Harajuku Style, gaya dandanan yang biasa dipakai duo Ratu dan Indra Bekti, kan? Nah, seperti itulah gaya berpakaian anak-anak muda di Jepang. Atraktif. Bebas. Riang. Jam 9 malam aku baru sampai asrama lagi.

Jum'at, 22 Desember 2006
Hari ini kuliah 1 kelas. Cuma bahasa Jepang. Masuk jam 8.45 (kelas di Jepang dimulai jam 8.45). Jam 11 pamit ke masjid. Setiap Jum'at aku mendapat dispensasi keluar kelas jam 11 untuk Jum'atan. Mestinya kelas selesai jam 1 siang. Sambil jalan ke masjid, mampir ke 99 Shop. Ini semacam toko satu harga di Indonesia. Semua barang seharga 99 Yen. Sebelumnya di Jepang sudah populer dengan toko 100 Yen Shop. Tapi sekarang muncul pesaing baru, 99 Shop. Lebih murah 1 Yen. Lumayan, bukan? Selesai sholat Jum'at, beli daging, sosis, bumbu Kare instan dan sambel Indofood di Halal Food. Maklumlah, mulut dan perut Indonesia ini sering menolak makanan Jepang macam sushi atau sashimi yang mentah itu. Untuk dicoba sih oke, tapi jika harus menjadi menu utama tiap hari, aduh terima kasih deh. Mending masak sendiri setiap hari. Malamnya ke perpustakaan, baca buku untuk bahan paper akhir semester. Seperti biasa, pulang jam 9 malam.

Sabtu, 23 Desember 2006
Libur. Hari ini ke Osaka lagi. Beberapa kawan dari Mesir minta diantar ke Nipponbashi. Ini kawasan pusat belanja barang-barang elektronik di Osaka. Mungkin semacam Akihabara di Tokyo. Kami berangkat berenam. Aku satu-satunya dari Indonesia. Agak keki juga soal bahasa. Kawan-kawan Mesirku rupanya lebih suka ngobrol dengan bahasa ibu mereka, Arabic. Tapi ada dua orang yang mau berbaik hati ngobrol dengan bahasa Inggris. Di Nipponbashi, kawan-kawan Mesirku berniat membeli kamera dan: rice cooker! Wah, jauh-jauh ke Osaka ternyata cuma mau beli rice cooker. Di Kyoto juga banyak. Satu lagi, meskipun hampir semuanya bergelar doktor, kawan-kawan Mesirku ini ternyata sama dengan ibu-ibu di Indonesia. Kemampuan tawar-menawarnya canggih. Ulet. Harus dapat harga murah. Malah ada cerita lucu. Kamera yang sudah kami beli di toko A, ngotot dikembalikan karena toko B menawarkan harga lebih murah 3 ribu Yen. Sempat terjadi ketegangan karena si penjual tidak mau begitu saja menerima pengembalian kamera tanpa alasan yang masuk akal. Tapi, lagi-lagi berkat keuletan dan sedikit muka tembok, kawan-kawan Mesirku berhasil mengembalikan kamera bermerek Sony itu dan mendapat harga lebih murah dari toko B. Jam 6 sore kami baru selesai belanja. Kaki capek sekali karena harus berjalan keluar masuk toko. Juga mengitari hampir seluruh kawasan Nipponbashi. Berkilo-kilo meter. Perut juga lapar meskipun sudah diganjal Takoyaki. Sampai asrama, jam 8 malam, aku langsung makan sambel goreng ati buatan sendiri. Ah, luar biasa lezatnya makanan Indonesia.

Begitulah seminggu kemarin aku jalani.

Mulai Senin kemarin kuliah libur musim dingin sampai tanggal 5 Januari 2007. Tapi aku belum tahu mau kemana. Mungkin malah cuma di kamar. Ada ide yang lebih cemerlang?

Medhy Aginta Hidayat

Artikel ini bermanfaat untuk Anda? Klik disini untuk berlangganan Blogguebo.

Maku-Donarudo dan Biitoruzu


Setiap bahasa punya keunikan. Kita sering bilang bahasa Indonesia itu mudah. Ia tidak kenal tenses. Ia tidak kenal sex differences. Kalimat: "Ia pergi ke Surabaya", bisa punya arti banyak. "Ia", boleh jadi laki-laki, boleh jadi perempuan. "Pergi ke Surabaya", boleh jadi kemarin, sekarang atau besok, atau tahun depan.

Gampang.

Momok ketika belajar bahasa Inggris adalah tenses. Lalu kita bilang bahasa Inggris itu susah.

Padahal buat orang Inggris, bahasa mereka sangat mudah.

Buat orang asing, bahasa Indonesia justru susah. Pertama, sulit membedakan laki-laki atau perempuan. Kedua, sulit menebak kapan suatu tindakan dilakukan. Ketiga, terlalu banyak bentukan awalan-sisipan-akhiran. Dalam bahasa Inggris, misalnya, awalan-sisipan-akhiran tidak dikenal.

Bahasa Jepang lain lagi.

Tentu, buat orang Jepang bahasa mereka mudah. Tapi buat kita, bahasa Jepang sungguh tidak mudah. Struktur kalimat Nihongo, atau bahasa Jepang, berbeda dengan bahasa Indonesia atau Inggris. Kita bilang "Saya baca buku." Orang Inggris bilang "I read a book." Orang Jepang bilang "(Watashi wa) hon o yomimasu". Terjemahannya: "(Saya) buku baca." (Saya) seringkali dihilangkan. Predikat di akhir kalimat. Jadi berkebalikan dengan bahasa Indonesia (dan bahasa Inggris).

Semakin susah karena bahasa Jepang menggunakan 3 huruf sekaligus: Hiragana, Katakana dan Kanji. Yang terakhir ini sama dengan huruf China.

Jadi bahasa memang unik.

Yang menarik, bahasa Jepang mengenal kata-kata serapan dari bahasa asing yang ditulis secara khusus. Katakana adalah huruf Jepang yang dipergunakan khusus untuk menulis kata-kata serapan. Misalnya nama orang, nama merek, nama tempat, atau nama benda yang mentah-mentah diadopsi dari bahasa asing.

Persoalannya, bahasa Jepang tidak mengenal huruf konsonan di akhir kalimat. Semua diakhiri dengan huruf hidup. Satu lagi, orang Jepang sulit melafalkan huruf "L". Ingat kan, iklan salah satu produk minuman suplemen dengan keyword "Ruaarrr biasaa!!

Jadinya, banyak kata serapan yang menjadi lucu ketika dilafalkan dalam bahasa Jepang. Iseng-iseng saya catat beberapa contohnya:

McDonalds menjadi Maku-Donarudo
Hamburger menjadi Hanbaagaa
Adidas menjadi Adidasu
Italia menjadi Itaria
Sandwich menjadi Sandoichi
Mike Miller menjadi Maiku Miraa
Bali menjadi Bari
Taxi menjadi Takusi
Christmas menjadi Kurisumasu
Classic menjadi Kurasiiku
Instant menjadi Insutanto
Beer menjadi Biiru
Test menjadi Tesuto
Email menjadi Imeeru
Tenis menjadi Tenisu
Hotel menjadi Hoteru
Pamphlet menjadi Panfureito
Golf menjadi Gorufu
System menjadi Sisutemu
Group menjadi Guruufu
Coat menjadi Kooto
Speech menjadi Supiichi
Meter menjadi Meetoru
Beatles menjadi Biitoruzu

Bahasa memang unik. Kadang lucu.

Tetapi, hemat saya, soal beda budaya tidak untuk ditakar baik-buruk. Menenggang perbedaan, itulah seninya.

Medhy Aginta Hidayat

Artikel ini bermanfaat untuk Anda? Klik disini untuk berlangganan Blogguebo.

Tulisan yang relevan dengan posting ini:
Yamamba dan Perlawanan Budaya
Shinto, Genze Riyaku dan Azimat
Mari Melahirkan Anak di Jepang

"Aku Dikomentari Maka Aku Ada"


Saya baru saja blogwalking ke beberapa blog. Sepertinya sedang ada polemik menarik. Ah, bukan polemik. Ini diskusi. Polemik mengandaikan perseteruan. Biasanya tegang, panas. Kadang berakhir di pengadilan. Diskusi tidak. Ia mengisyaratkan kemauan berbagi. Memberi dan menerima. Saling mendengar. Tidak ada yang lebih benar. Kalau sekedar berbeda pandang, itu sangat jamak.

Wis umum, kata kawan saya.

Diskusi terhangat menyoal pentingnya komentar.

Dari diskusi itu saya tahu seorang kawan meresahkan mengapa blognya tidak mengundang komentar. Ia mengeluh mengapa jumlah pengunjung blognya tidak pernah menembus angka 10. Padahal ia sudah mati-matian menulis. Juga sudah mempermak blognya seindah mungkin. Ia bilang ingin seperti si A, atau si B, yang angka pengunjung blognya selalu ratusan. Kawan saya setengah putus asa.

Seorang kawan lain menulis bagaimana tips menarik banyak komentar. Ia punya masalah yang sama: miskin pengunjung. Padahal ia pun sudah berkeringat menulis. Juga mendesain blognya dengan cantik. Memasang berbagai aksesoris. Menambah foto. Bahkan meninggalkan jejak ke sejumlah blog lain. Harapannya, tentu ada kunjungan balik. Tetapi blog kawan saya ini tetap sepi-sepi saja.

Seorang kawan yang lain menulis tidak peduli dengan ada tidaknya komentar. Yang penting menulis. Ya, menulis dan menulis. Jika ada yang membaca, syukur. Jika tidak ada yang membaca pun alhamdulillah. Tetap bersyukur. Tetapi blognya memang benar, alhamdulillah, sepi komentar.

Lalu seorang kawan lain beranjak lebih jauh. Ia mempersoalkan mengapa ada blog yang banjir komentar dan ada blog yang kekeringan komentar. Ia bilang blog seleb selalu banjir komentar. Sementara blog kebanyakan, seperti miliknya, selalu kekeringan komentar. Ia merasa ada ketimpangan antara blog seleb dan blog kebanyakan. Blog seleb? Ya, ini istilah kawan-kawan saya untuk menyebut blog milik bloggers yang punya nama, terkenal, atau dikenal banyak orang. Biasanya blog seleb lebih banyak dikunjungi dan dikomentari ketimbang blog kebanyakan.

Diakhir postingnya kawan saya menggugat mengapa blog seleb, seperti halnya kehidupan para seleb di dunia nyata, selalu lebih bersinar.

Saya terkesima.

Ada benarnya.

Jujur, saya baru tersadar jika komentar adalah soal penting di dunia blogosphere. Selama ini saya tidak tahu. Mungkin karena masih baru. Mungkin karena usia saya baru 2 bulan.

Tetapi diam-diam saya bertanya-tanya, kenapa komentar menjadi begitu penting di dunia blogosphere?

Tentu banyak jawaban. Setiap orang punya hak menjawab, bukan? Jadi pasti ada seribu satu jawaban dari seribu satu orang. Tetapi hemat saya dibalik setiap jawaban itu pasti ada benang merah. Paling tidak tersirat.

Akhirnya saya sampai pada satu kesimpulan: komentar adalah bukti eksistensi diri. Ya, bukti keberadaan.

Memang tidak enak mengakui ini. Tetapi benar, rasanya sedih bila keberadaan kita di dunia blogosphere tidak diketahui orang lain. Paling tidak, ketika memilih menulis di blog, kita sadar bahwa ia adalah domain publik. Bukan domain privat. Sewajarnya jika orang berharap tulisannya akan dibaca banyak orang. Beda soal jika kita menulis di buku harian, di PC atau di PDA pribadi. Itulah mengapa sebagian kita resah dan gelisah ketika tak ada seorang pun yang mengunjungi blog kita. Keberadaan kita di dunia blogosphere seolah tidak diakui. Lalu kita merajuk. Patah arang.

Padahal sebenarnya kita tidak perlu malu mengakui. Juga tidak perlu merasa bersalah.

Apalagi berapologi.

Ini manusiawi kok.

Kita butuh diakui.

Karena itu, hemat saya, wajar jika komentar jadi krusial. Dengan adanya komentar, kita mahfum bahwa orang lain tahu akan keberadaan kita. Kita senang dikomentari. Kita senang telah diakui sebagai bagian dunia blogosphere.

Soal eksistensi diri ini saya jadi ingat Descartes, seorang filsuf Perancis. Ia dikenal sebagai Bapak Rasionalisme Modern. Ia punya adagium begini: Cogito ergo sum. Terjemahannya: Aku berpikir maka aku ada. Descartes bilang bahwa manusia baru bisa menyadari keberadaannya jika ia berpikir bahwa ia ada. Jika ia tidak berpikir bahwa ia ada, secara logika, sebenarnya keberadaannya tidak ada. Membingungkan? Semoga tidak.

Lalu saya ingat salah satu milis. Ini milis mantan mahasiswa dan yang pernah kuliah (meski tidak selesai) di Fakultas Filsafat UGM. Moderatornya Yayan Sophian. Mungkin ada yang kenal. Nama milis ini: Aku Online Maka Aku Ada. Disingkat AOMAA. Dengan sadar milis ini memproklamirkan sebuah cara keberadaan baru: keberadaan Anda hanya diakui jika Anda online di dunia internet. Jika tidak, maka Anda dianggap tidak pernah ada.

Mungkin dianggap hilang. Atau sudah mati. Ah, kasihan benar nasib Anda.

Akhirnya, demi mengukuhkan eksistensi kita di dunia blogosphere, barangkali memang perlu diciptakan adagium baru: "Aku Dikomentari Maka Aku Ada."

Bagaimana?

Saya permisi dulu.

(Gambar diambil dari situs Wikipedia)

Medhy Aginta Hidayat

Artikel ini bermanfaat untuk Anda? Klik disini untuk berlangganan Blogguebo.

Tulisan yang relevan dengan posting ini:
"Klik Klik Klik Dapat Duit?"
Blog Yang Layak Kunjung
Monetisasi Blog Anda: (3) Program Paid-to-Affiliate

Nothing Special


Sabtu ini tidak ada aktivitas apa-apa. Cuma di kamar. Istirahat. Di luar pasti dingin sekali.

Mungkin aku kecapekan.

Kemarin selepas Jum'atan mestinya ada wawancara dengan Khaliil Kuribayashi. Nama yang aneh? Benar, kawan baruku ini seorang Muslim Jepang. Nama Jepangnya Tomofumi Kuribayashi. Setelah memeluk Islam dan menjadi seorang Muslim ia menambahkan Khaliil di depan nama Jepangnya. Sekarang ia lebih senang dipanggil Khaliil ketimbang Tomo, nama kecilnya. Ia bisa sedikit berbahasa Indonesia.

Soal nama ini cerita lain. Aku berwasangka kenapa teman-teman Muslim Jepang harus menambahkan nama Arab, di depan nama Jepang mereka. Biar Islami? Islam bukan Arab, lho. Arab juga tidak melulu Islam. Kawanku dari Lebanon seorang pemeluk teguh Kristiani. Atau agar orang mudah memahami bahwa mereka kini seorang Muslim? Ah, reason yang dipaksakan juga. Buatku akan lebih indah kalau justru dengan nama Jepang, mereka bisa bangga menjadi seorang Muslim, tepatnya seorang Muslim Jepang. Karena bukankah Islam rahmatan lil alamin? Rahmat di muka bumi. Bukan rahmat di Arab Saudi.

Tapi sudahlah, itu soal lain.

Janji wawancara kemarin dengan Khaliil batal karena ia tidak bisa datang ke masjid Kyoto. Banyak tugas kampus, katanya lewat email.

Aku maklum. Khaliil seorang mahasiswa S-3 Doshisa University, salah satu universitas swasta di Kyoto. Ia belajar Islamic Studies di Fakultas Teologi. Ia pasti sibuk dengan studinya. Bulan-bulan seperti ini memang biasanya banyak tugas seminar yang harus dikerjakan.

Hari ini, tadi sore, mestinya ada diskusi Indo-Kyoto di kampus CSEAS Kyoto University. CSEAS? Ya, Center for South East Asia Studies, pusat kajian Asia Tenggara milik Kyoto University. Takashi Shiraishi, Indonesianis yang terkenal itu dulu mengajar di sini. Tapi diskusi sore ini aku juga tidak datang. Entah kenapa, rasanya badan capek sekali. Aku ingin cuma santai, tiduran di kamar. Paling baca buku.

Indo-Kyoto adalah sebuah kelompok diskusi yang dibentuk beberapa mahasiswa Indonesia yang belajar ilmu-ilmu sosial di Kyoto. Moderator kelompok ini adalah kawan Jafar Suryomenggolo. Lulusan UI dan aktivis LSM advokasi buruh di Jakarta. Setiap bulan sekali kami berkumpul dan berdiskusi. Temanya apa saja. Biasanya berangkat dari thesis atau penelitian para anggotanya. Cukup menarik.

Lalu malam ini aku juga tidak melakukan apa-apa. Cuma cek email. Cek dan update blog sebentar. Blogwalking. Lalu makan. Ini yang keempat kalinya. Suhu dingin di sini membuat selera makanku jadi bertambah. Perut semakin gendut. Wah, celana pun jadi kesempitan.

Sebelum hari berganti, setelah menulis diary pendek ini, malam ini juga aku harus menyelesaikan satu report. Malam ini harus selesai. Tidak boleh tidak. Ah, harus nglembur lagi.

Sekarang sudah jam 10.16. Malam seperti melesat.

Di Indonesia jam 8.16.

Aku kangen Mama dan Izam. Sebentar, aku ingin menelepon mereka.

Medhy Aginta Hidayat

Artikel ini bermanfaat untuk Anda? Klik disini untuk berlangganan Blogguebo.

Menghargai Kehidupan


Menghargai kehidupan tidak perlu mahal. Malah bisa tanpa biaya. Asal kita tulus. Asal kita ikhlas melakukannya. Kita bisa memulainya.

Bagaimana menghargai kehidupan?

Jangan merusaknya.

Jangan memetik bunga yang sedang berkembang. Ia cantik ketika berada di tangkainya.
Jangan membunuh kupu-kupu yang sedang terbang. Ia indah ketika mengepakkan sayapnya.
Jangan mengambil batu, tanah, dan air dari asalnya. Ia bermanfaat ketika ditempatnya.

Alam punya kebijaksanaannya sendiri.

Jangan mengotorinya.

Jangan membuang sampah apapun sembarangan. Buanglah sampah di tempatnya.
Jangan merokok. Asapnya mengotori udara.
Jangan mencemari air dengan limbah apapun. Air sumber penghidupan kita.

Jangan menyakiti harkat kemanusiaan kita.

Jangan tamak. Alam dikaruniakan untuk seluruh manusia.
Jangan sombong. Kita tidak punya apa-apa di dunia.
Jangan merendahkan orang lain. Hakikatnya kita diciptakan sama.

Berbuatlah baik kepada setiap orang. Jangan melihat orang dari warna kulit, agama, bahasa dan latar belakang.

Jangan pilih-pilih membagikan cinta kepada sesama manusia. Ya, saya sedang belajar menghargai kehidupan. Karena sesungguhnya kebajikan hidup tertinggi adalah menghargai kehidupan. Meskipun dengan cara yang paling sederhana.

Jika setiap orang menghargai kehidupan, alangkah indahnya.

Damai, tenteram, bahagia.

Medhy Aginta Hidayat

Artikel ini bermanfaat untuk Anda? Klik disini untuk berlangganan Blogguebo.

Blog Yang Layak Kunjung


Apakah kriteria blog yang layak dikunjungi?

Jawabannya bisa berderet. Setiap orang punya alasan berbeda.

Kawan saya suka membaca blog yang ditulis orang terkenal. Alasannya, ia ingin tahu sisi intim si tokoh yang sering dilihatnya di teve. Di dalam blog, biasanya memang orang lebih berani terbuka. Dengan membaca blog si tokoh, kawan saya bisa melihat sisi lain si tokoh yang tidak ditemukannya di media massa.

Kawan yang lain suka mengunjungi blog dengan topik tulisan yang unik, tidak jamak, dan tidak mungkin ditemukan di mainstream media. Buat apa baca blog kalau isinya sama dengan koran, gerutunya. Tapi benar, kelebihan blog salah satunya adalah membuka ruang aliran informasi di luar pintu informasi yang sudah ada.

Kawan yang lain suka membaca personal blog yang isinya catatan harian. Ya, diary. Karena ditulis setiap hari, menurutnya blog tersebut tidak pernah basi dan selalu baru sehingga menarik untuk dikunjungi. Alasan yang masuk akal.

Kawan yang lain mengaku senang membuka blog berdesain menawan. Ia suka meniru desain blog yang dianggapnya nyeni dan out of box. Maklum, dia orang desain. Tidak salah dong belajar desain lewat desain blog.

Kawan yang lain lagi suka mengunjungi blog yang memberikan informasi yang ia butuhkan. Mungkin tentang teknik membuat blog. Atau cara bertransaksi saham. Atau informasi beasiswa. Atau perkembangan IT termutakhir. Atau sekedar panduan cara memasak berbagai jenis sup.

Sangat beragam, bukan?

Tetapi jika boleh disarikan, barangkali ada 4 kriteria utama blog yang layak dikunjungi.

Pertama, newness, isi yang selalu baru. Hemat saya kriteria ini seharusnya menjadi perhatian utama. Blog yang layak dikunjungi adalah blog yang selalu ter-update. Bukan blog yang isinya berbulan-bulan itu-itu saja.

Basi.

Soal isi setiap orang punya penilaian berbeda. Isi blog yang bagus bisa subjektif. Tapi apalah artinya blog dengan tulisan bagus namun selama berbulan-bulan hanya berisi satu tulisan? Lebih berharga sebuah blog biasa-biasa, namun menawarkan sesuatu yang baru setiap hari. Entah catatan aktivitas sehari-hari, entah renungan, entah gerundelan, entah analisis canggih. Tidak peduli walau isinya hanya satu dua kalimat. Asal rutin. Jika ditakar, hemat saya nilainya akan lebih tinggi.

Blog yang selalu ter-update membuktikan bahwa si penulis bertanggungjawab terhadap blog miliknya. Apapun isinya, kumpulan posting yang ter-update rutin akan menjadi catatan sejarah berharga bagi penulisnya. Ia bisa menelusuri kembali buah pikirannya pada suatu rentang masa.

Blog yang selalu ter-update juga membuat pembacanya merasa diperhatikan. Ia seperti mengajak berdialog. Bercerita. Berbagi.

Jadi, jika ingin mengunjungi sebuah blog, cukup pastikan ia ter-update rutin.

Kedua, isi yang menarik. Blog yang layak dikunjungi adalah blog yang membuat pembacanya tergoda untuk selalu membaca isinya. Menarik? Tetapi menarik menurut siapa? Jawabannya: menurut Anda. Menarik atau tidak memang subjektif. Ia bisa jadi debat kusir berkepanjangan. Menarik untuk si A, belum tentu menarik bagi si B, C, D atau E. Tetapi tidak usah risau. Tidak perlu berdebat. Kuncinya satu, Anda tertarik dengan isi blog yang Anda baca. Jangan pedulikan orang lain.

Isi yang menarik bisa jadi karena tema posting-nya. Atau gaya bahasanya. Atau sesuai dengan minat dan kebutuhan pembacanya. Atau bisa jadi sekedar lucu. Unik. Jarang. Atau malah aneh. Yang pasti blog dengan isi yang menarik akan banyak dikunjungi pembaca.

Ketiga, desain blog yang menarik. Harus diakui, blog dengan desain menarik menjadi salah satu kriteria untuk dikunjungi pembaca atau tidak. Sebuah blog berdesain bagus akan membuat pembacanya betah berlama-lama membaca posting-nya. Sebaliknya, blog yang garing atau malah terlalu rame akan membuat pembacanya merasa cepat bosan.

Lalu bagaimana desain blog yang menarik? Kata kuncinya adalah proporsional. Tidak terlalu rame dengan berbagai aksesoris (yang tidak perlu), tetapi juga tidak terlalu miskin fitur sama sekali. Membuat desain blog yang menarik tidak harus membuat kita menjadi desainer web profesional. Semua orang bisa membuat desain blog yang menarik karena hampir semua penyedia layanan blog sangat mudah dipergunakan. Selain itu, kita juga bisa mencontoh blog lain yang jumlahnya berjuta-juta itu, bukan?

Keempat, aksesoris/fitur/layanan yang bermanfaat. Salah satu kelebihan blog yang sering dikunjungi pembaca adalah tersedianya aksesoris/fitur/layanan yang bermanfaat. Dengan manfaat aksesoris/fitur/layanan ini, pembaca blog merasa mendapatkan nilai lebih saat berkunjung ke blog tersebut.

Salah satu aksesoris penting sebuah blog adalah layanan memberi komentar. Dalam dunia blog, komentar adalah tool untuk saling mempromosikan diri. Sama-sama untung. Simbiose mutualism. Dengan memberi komentar, seorang pembaca memberikan apresiasi terhadap isi sebuah blog. Sebaliknya, si pemilik blog juga akan bisa melacak alamat blog si pemberi komentar sehingga kedua belah pihak akan saling mengenal. Pada gilirannya, blog keduanya akan saling dikuatkan. Tidak ada yang lebih tinggi. Tidak ada yang lebih rendah. Semua setara.

Aksesoris penting lain adalah layanan link blog lain. Dengan adanya layanan ini, seorang pembaca blog cukup membuka satu blog dan bisa menjelajahi dunia blog yang hampir tanpa batas. Blog yang memiliki layanan ini tentu akan sangat memudahkan pembacanya.

Aksesoris lain yang menjadi kriteria blog yang layak dikunjungi tentu bisa berbeda untuk setiap orang. Ada banyak aksesoris dalam dunia blogging. Tetapi yang pasti, semakin besar manfaat aksesoris/fitur/layanan yang diberikan sebuah blog, semakin besar pula pembaca yang akan berkunjung.

Sebagai pembaca, keempat kriteria penting diatas layak dijadikan ukuran untuk berkunjung ke sebuah blog. Sebagai pemilik blog, keempat kriteria diatas bisa menjadi bahan koreksi diri. Apakah blog Anda cukup layak untuk dikunjungi? Atau mengapa selama ini blog Anda tidak ada yang mengunjungi?

Tidak ada salahnya kita evaluasi.

Medhy Aginta Hidayat

Artikel ini bermanfaat untuk Anda? Klik disini untuk berlangganan Blogguebo.

Menulis Dengan Bernas


Kemarin saya baca sebuah posting menarik. Saya lupa nama blog-nya. Isinya sederhana. Soal menulis pendek-pendek.

Menulis dengan bernas.

Intinya, jangan berpanjang lebar dalam menulis. Menulislah dengan hemat dan ringkas.

Saya setuju. Kalimat pendek tidak harus kosong. Apalagi tanpa arti. Kalimat panjang juga bukan jaminan kejelasan. Seringkali, kalimat panjang malah membingungkan. Satu hal, ia membuktikan ketidakcakapan berbahasa. Hal lain, ia melelahkan pembaca. Tambahan, ia menghabiskan halaman.

Kebiasaan menulis pendek-pendek bisa diasah. Tidak sulit. Asal mau belajar. Asal tekun mencoba. Jika sudah terbiasa, menulis menjadi mengasyikkan.

Pertama, cobalah menulis seperti biasa. Jangan pikirkan panjang-pendek kalimat. Lebih penting ada hasrat menulis menyala-nyala. Dengan begitu tulisan akan mengalir lancar.

Kedua, menulislah soal yang kita tahu. Jangan sok pintar. Jangan sok jagoan. Setiap orang punya porsi kecakapan. Tidak perlu memaksakan diri. Paling bagus menulis dari pengalaman sendiri. Setiap orang punya pengalaman hidup, bukan?

Ketiga, sekarang suntinglah tulisan tersebut. Mulai dari kalimat pertama hingga terakhir. Cobalah menemukan kata pengganti untuk frase. Ingat, kata. Kata adalah unsur terkecil penyusun kalimat. Usahakan setiap kalimat terdiri 6 kata. Tidak lebih. Jika perlu ubah struktur kalimat. Tidak masalah asal makna tidak berubah. Lakukan hingga kalimat penutup.

Keempat, bacalah lagi hasil suntingan tersebut. Sudah enakkah dibaca? Masih kakukah rasanya? Ada kata yang hilangkah disana? Teliti satu per satu setiap kalimat. Jangan ada yang terlewat. Jika mungkin, sunting lagi tulisan tersebut. Cobalah perhalus. Ini penting, agar tulisan tidak kering.

Kelima, lakukan latihan ini sesering mungkin.

Menulis dengan bernas bisa dikuasai siapapun. Tidak peduli apa pendidikannya. Tidak peduli apa pekerjaannya. Juga tidak peduli apa ragam tulisannya. Kuncinya satu: berlatih.

Saya juga berlatih menulis dengan bernas. Tidak percaya? Coba cermati tulisan ini. Coba hitung jumlah kata setiap kalimat.

Setiap kalimat maksimal 6 kata.

Medhy Aginta Hidayat

Artikel ini bermanfaat untuk Anda? Klik disini untuk berlangganan Blogguebo.

Hari-Hari Musim Dingin di Kyoto


Hari ini 15 Desember 2006

Tidak terasa sudah tanggal 15 Desember. Setengah bulan lagi tahun berganti. 2007. Usia bertambah. Jatah hidup di dunia berkurang.

Oh, betapa cepat waktu melesat.

Hari ini aku agak punya waktu duduk di depan laptop. Besok hari Sabtu. Libur akhir pekan. Hari ini tidak banyak aktivitas di kampus. Cuma kuliah. Setelah itu Jumatan. Lalu pulang. Jadi malam ini bisa menulis agak panjang. Bisa menulis blogdiary.

Hari-hari di musim dingin ini mulai terasa biasa. Biasa? Ya, aku mulai terbiasa dengan suhu 5-10 derajat Celcius. Terbiasa dengan pakaian bertumpuk-tumpuk. Terbiasa dengan jaket tebal. Terbiasa dengan kaos tangan dan penutup kepala. Terbiasa dengan lipgloss di bibir. Terbiasa mandi air hangat. Terbiasa dengan uap air yang keluar dari mulut setiap bernafas.

Aku orang Indonesia. Sebuah negeri tropis yang tidak mengenal salju. Rasa dingin yang kadang mengiris tulang di sini, kadang merepotkan. Butuh waktu buatku untuk menyesuaikan irama hawa tubuh. Enam tahun yang lalu aku tinggal di Nagoya selama setahun. Tapi Nagoya tidak sedingin Kyoto. Salju pun tidak sebanyak di Kyoto. Namun musim dingin, dimanapun akan selalu menjadi pengalaman baru untuk orang Indonesia sepertiku.

Sebenarnya aku suka musim dingin. Justru karena aku orang dari sebuah negeri tropis. Musim panas, musim gugur, musim semi, rasanya tidak jauh berbeda dengan musim kemarau dan penghujan di Indonesia. Ya, benar, tentu hawa dan derajat suhu berbeda. Di Jepang lebih dingin. Di negeri kita lebih panas. Namun ketiga musim tersebut tidak ekstrim berbeda dengan musim di Indonesia, bukan? Musim dingin, sungguh ekstrim perbedaannya. Suhu dibawah nol, dingin yang menghantam tulang, hamparan putih salju kemanapun mata memandang, semuanya sungguh berbeda. Musim dingin juga menceritakan gaya berpakaian yang khas, makanan yang khas, olahraga yang khas, dan cara mengisi waktu luang yang juga khas dan tidak kita kenal di Indonesia. Sungguh sebuah pengalaman baru yang menantang.

Aku melihat di Kyoto, seperti halnya di kota lain di Jepang, gaya berpakaian sangat atraktif. Sebentar, aku jadi ingat Harajuku Style. Ini adalah sebuah cara berpakaian anak-anak muda di distrik Harajuku, sebuah pusat youth culture di Tokyo. Cara mereka berpakaian sering menabrak kode-kode fashion yang jamak. Model, desain, tekstur, cutting, dan warna mereka buat main-main. Tidak ada yang baku dalam berpakaian. Kebebasan berekspresi jadi Tuhan. Dari Harajuku, cara berpakaian ini menyebar ke penjuru dunia. Di Indonesia, group musik duo Ratu dan presenter Indra Bekti adalah contoh penganut Harajuku Style. Aku sangsi apakah selain artis, remaja Indonesia berani menganut gaya Harajuku di keseharian mereka.

Di musim dingin gaya berpakaian di Jepang tetap atraktif. Pakem berpakaian tetap ditabrak. Jangan kaget jika di suhu nol derajat Celcius, ada saja gadis Jepang yang ber-rok mini dan T-Shirt. Atau yang cowok hanya ber-jeans dan T-Shirt plus full zip vest. Fungsi, buat mereka nampaknya urusan kesekian. Yang penting gaya. Yang utama tampil beda. Khusus untuk sebagian besar wanita Jepang, cara dan gaya berpakaian adalah segalanya. Budget besar dikeluarkan. Trend terbaru dikejar.

Sebagian besar wanita Jepang yang lain tampil dengan baju tebal dan segala pernik-permiknya. Nyaris tidak ada yang tampil biasa-biasa. Beragam mantel, dengan model coat, cardigan, rib turtleneck atau knitting dengan bahan wool, fur, fleece maupun leather berebut perhatian di jalanan. Ya, fashion street di Jepang sungguh hidup, riang dan berwarna. Seorang kawan dari Perancis, pusaran mode dunia, pun mengakui betapa menariknya catwalk jalanan di Jepang.

Selain gaya berpakaian, musim dingin menjanjikan cerita soal keindahan alam. Aku paling suka melihat jatuhnya salju dari jendela di senjakala. Begitu romatis. Semuanya putih. Putih bersih. Aku sering mengkhayal sedang berada di Negeri di Awan. Di Nagano, enam tahun yang lalu, aku melihat hamparan putih sangat luas di lereng gunung tempat bermain ski. Sangat indah.

Pengalaman-pengalaman seperti itu memperkaya batin.

Aku bersyukur, disebagian hidupku aku pernah mengalami banyak hal indah. Salah satunya hidup di Jepang. Banyak hal yang aku pelajari soal bagaimana menghargai kehidupan disini.

Libur musim dingin 23 Desember 2006 sampai 4 Januari 2007. Minggu depan kelas terakhir. Aku belum tahu mau liburan kemana. Belum ada rencana apa-apa. Mungkin malah cuma di asrama. Di kamar. Menulis.

Sudah jam 10.56. Di Indonesia jam 8.56. Aku ingin telepon Mama dan Izam.

Entah kenapa tiba-tiba aku kangen mereka. I miss them much.

Medhy Aginta Hidayat

Artikel ini bermanfaat untuk Anda? Klik disini untuk berlangganan Blogguebo.

Tulisan yang relevan dengan posting ini:
Nothing Special

Tentang Saya dan Blogguebo.com

Selamat datang di Blogguebo.com!

Blogguebo.com adalah blog yang membahas tentang seluk-beluk dunia
blogging dan tips-tips bagaimana cara menghasilkan uang melalui blog, terutama untuk blog berbahasa Indonesia.

Perkenalkan, nama saya Medhy Aginta.

Saya adalah pemilik sekaligus penulis Blogguebo.com.

Sebagai blogger dan
web publisher paruh-waktu, saya telah menekuni aktivitas blogging semenjak tahun 2006 hingga sekarang. Blogguebo.com sendiri saat ini telah menjadi salah satu blog rujukan para blogger Indonesia untuk belajar tentang seluk beluk dunia blogging dan make money from blogging.

Beberapa pencapaian Blogguebo.com diantaranya adalah terpilih dua kali berturut-turut sebagai salah satu finalis blog berbahasa Indonesia terbaik dalam kompetisi blog internasional Deutsche The BOB's (Best of the Blog) 2008 dan 2010 (2009 tidak diadakan), dimuat sebagai feature news di VivaNews.com, Harian Kontan, InfoKomputer, tabloid PC-Plus dan Harian Surya, serta ditayangkan di salah satu program acara di SBO TV, sebuah teve lokal Surabaya.

Selain itu, Blogguebo.com juga telah hadir dalam bentuk buku berjudul Blogging for Money: Panduan Jitu Untuk Mengoptimalkan dan Mendapatkan Penghasilan Dari Blog Anda! yang diterbitkan oleh Andi Publisher, Yogyakarta. Anda bisa mendapatkan buku ini di toko-toko buku terkemuka di Indonesia hanya dengan harga Rp.45.000.

Jika Anda membutuhkan bantuan berkaitan dengan tips-tips blogging, tips-tips promosi blog dan tips-tips monetisasi blog Anda (bagaimana menghasilkan uang melalui blog Anda), atau Anda ingin menghubungi saya baik untuk keperluan bisnis (pemasangan iklan dengan harga hemat di blog ini, konsultasi dan review untuk blog Anda, joint venture untuk produk atau jasa Anda, konsultasi content writing untuk blog Anda, konsultasi pillar article writing untuk blog Anda, atau kerjasama lainnya) ataupun untuk keperluan pribadi, silahkan kontak saya melalui Contact Form dibawah ini:


atau silahkan Add YM saya di medhy_aginta

atau ikuti saya di Twitter

atau tambahkan saya di Facebook

atau ikuti lingkaran saya di Google+

atau kontak saya di
MedhyHidayat.com
 

Insyaallah, saya akan berusaha membantu Anda.

Terakhir, jika ini adalah kunjungan pertama Anda ke blog ini, barangkali Anda ingin mendapatkan updates terbaru tips-tips menghasilkan uang melalui internet dari blog ini secara gratis melalui RSS Feed atau email Anda.

Silahkan klik link dibawah ini untuk mendapatkan updates tips-tips teruji dari Blogguebo.com secara gratis melalui RSS ataupun email Anda:

Dapatkan updates artikel Blogguebo via email atau
Dapatkan updates artikel Blogguebo via RSS.

 

Selamat membaca dan happy blogging!

Best regards,
 

Medhy Aginta
www.Blogguebo.com

Melayani dan Dilayani


Saya ingin menulis soal sederhana.

Mumpung ingat. Dan ada gairah untuk menuliskannya sekarang.

Ini soal melayani dan dilayani. Soal sepele yang bisa punya dampak luar biasa.

Mohon jangan berpikiran mesum dulu.

Melayani dan dilayani tidak selalu identik dengan soal adegan ranjang, bukan? Melayani dan dilayani bisa punya banyak arti. Dan melayani serta dilayani disini adalah relasi melayani-dilayani antara rakyat, pembayar pajak, sang pemberi amanat dan negara.

Ini pengalaman saya sendiri menghadapi lembaga pelayanan publik yang dikelola negara.

Empat bulan yang lalu saya mengurus paspor. Sebenarnya saya malas melakukannya jika tidak karena terpaksa. Paspor saya telanjur mati setahun yang lalu. Paspor itupun cuma dipakai sekali ketika mengikuti program pertukaran mahasiswa di Nagoya selama 1999-2000. Setelah itu saya lupa jika punya paspor. Maklum, waktu itu saya pikir tidak mungkin saya bisa ke luar negeri lagi, apalagi dengan biaya sendiri. Buat saya, itu seperti mimpi yang terlampau tinggi.

Hingga ternyata, untuk suatu keperluan, saya harus ke luar negeri lagi. Terpaksa mengurus paspor baru di sebuah kantor imigrasi.

Di kantor imigrasi saya datang dan mengurus paspor sendiri. Bolehkan saya ingin menjadi warga negara yang baik. Tidak melalui calo. Kenapa? Karena di depan pintu kantor itu tertulis dengan huruf besar-besar larangan mempergunakan calo dalam pengurusan paspor.

Dan mulailah saya mendapatkan pengalaman pelayanan buruk dari sebuah sistem birokrasi negara.

Awalnya, saat mengisi formulir permohonan paspor tidak ada masalah. Lancar. Semua pemohon diperlakukan sama. Gelagat rusaknya sistem mulai muncul ketika saya menyerahkan formulir permohonan. Si petugas tidak ada di loket. Saya dan puluhan pemohon pribadi yang lain berdiri mengantri. Menunggu. Dengan sabar. Dengan hati gundah. Berharap ada informasi mengapa petugas belum ada di loket. Dan tidak ada informasi apa-apa.

Namun di dalam ruang loket, hilir mudik orang dengan baju sipil, membawa setumpukan tebal dokumen permohonan paspor. Mereka sedang berbicara dengan petugas loket kantor imigrasi. Mereka yang berbaju sipil pasti bukan pegawai kantor imigrasi, pikir saya. Pegawai imigrasi semuanya berpakaian dinas harian departemen mereka. Lalu bagaimana mereka bisa ada di dalam ruangan loket, sementara di depan pintu loket tertulis jelas: Selain Petugas Imigrasi Dilarang Masuk! Belakangan saya tahu mereka adalah para pegawai biro perjalanan yang sudah bertahun-tahun hidup dari jasa pengurusan paspor. Mereka bisa masuk ke dalam ruangan loket dengan memberikan sejumlah uang. Saya melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana calo-calo itu menyelipkan uang Rp. 50.000 bahkan Rp. 100.000 di dalam map-map permohonan paspor yang mereka urus.

Ketika petugas loket muncul, dengan gaya angkuhnya yang khas kantor pelayanan publik di negeri kita, saya ditanya,"Bapak mau mengurus baru atau perpanjangan?" Saya tunjukkan paspor mati saya. "Saya ada paspor tapi sudah mati," kata saya. Dan petugas itu berkata, "Wah, kalau sudah mati harus cari dokumennya dulu Pak. Agak lama". "Berapa lama?" tanya saya. Dia tidak menjawab pertanyaan saya. Cuma diam. Saya juga diam. Lalu sejurus kemudian dia berkata, "Kalau Bapak mau cepat, saya mintakan tolong orang untuk cari. Kasih ongkos carinya saja Rp. 20.000."

Saya bingung. Bukankah itu sudah tugas lembaga imigrasi untuk mencari dokumen lama saya? Bukankah sudah tugas lembaga pelayanan publik untuk melayani pengguna layanannya yang membayar pajak untuk negara? Lho kok minta ongkos cari dokumen?

Selesai dengan soal itu, saya menghadapi soal berikutnya. Setelah semua proses permohonan yang memakan waktu hampir seharian selesai, saya ditanya lagi, "Bapak mau selesai kapan?" Lho, bukannya tanpa ditanya seharusnya bisa selesai dalam waktu 3 hari? Itupun saya tahu setelah membaca papan informasi kantor imigrasi. "Seperti yang tertulis selesai 3 hari kan, Pak," kata saya. "Wah, nggak bisa Pak. Kita harus tunggu dari Jakarta dulu. Paling cepat 5 hari," kata petugas imigrasi itu.

Saya sedang malas berdebat. Mengiyakan, lalu pulang.

Tapi buruknya sistem pelayanan publik di kantor imigrasi belum selesai sampai disini. Lima hari kemudian saya datang lagi. Harapan saya tentu paspor baru sudah jadi. Ternyata, bisa ditebak, belum jadi. Dengan enteng petugas kantor pelayanan publik itu berkata keputusan belum ada dari Jakarta.

Saya geram. Hanya gara-gara itukah?

Tapi saya curiga bukan gara-gara keputusan itu.

Sambil terus berdiri mematung di depan loket akhirnya sambil berbisik saya minta bantuannya agar bisa memuluskan paspor saya selesai hari itu juga. "Kasih Rp. 50.000 lah Pak, untuk orang belakang," akhirnya petugas itu menyanggupi. Keluarlah uang lima puluhan ribu saya yang terakhir dari dompet kucel saya.

Sore hari, ketika kantor hampir tutup, akhirnya paspor saya selesai. Biayanya? Rp. 320.000. Padahal jelas tertulis di papan informasi untuk paspor 48 halaman biayanya Rp. 270.000. Kenapa bisa berbeda? Yang aneh, pembayaran biaya paspor tidak dilakukan di loket kasir, melainkan kepada petugas loket itu sendiri. Dan yang lebih aneh lagi, uang pembayaran itupun diterimanya dengan langsung dimasukkan ke dalam kantong celananya sendiri. Bukti pembayaran pun, jika tidak saya minta, petugas itu tidak memberikan.

Tapi sudahlah, saya sudah capek. Dan malas berdebat. Saya cuma ingin paspor saya selesai.

Saya langsung pulang. Tidur.

(sebuah pengalaman buruk menghadapi lembaga pelayanan publik di negara kita).

Pelayanan buruk seperti ini adalah pemandangan sehari-hari di negeri kita. Tidak hanya di kantor imigrasi. Tapi hampir di semua kantor pelayanan publik. Sistem yang tidak berfungsi, deskripsi kerja yang tidak jelas, birokrasi negara yang terlampau gemuk, mental birokrat negara yang arogan, administrasi yang kacau-balau, gaji yang rendah, tuntutan kerja yang tinggi, gaji sama namun porsi kerja berbeda, kontrol atasan yang lemah, semuanya berjalin kelindan menciptakan sebuah lembaga pelayanan publik yang rusak.

Lembaga pelayanan publik yang seharusnya melayani malah jadi tempat jual beli.

Saya tidak tahu siapa yang salah. Tapi itulah salah satu realitas buruk di negeri tempat kita hidup, Indonesia.

Dilayani, betapa mahal (dan repotnya) di negeri ini.

Medhy Aginta Hidayat

Artikel ini bermanfaat untuk Anda? Klik disini untuk berlangganan Blogguebo.

Kematian

Sore tadi, sepulang diskusi kecil di CSEAS, Kyoto University, saya baca email mengejutkan. Mashudi, kawan kuliah di UGM, mengabarkan bahwa Yusuf, kawan kami kuliah dulu telah meninggal dunia. Jam 4 sore tadi, jenazahnya disemayamkan di Kediri, kota kelahiran Yusuf.

Usianya baru 30-an tahun. Masih muda.

Setahu saya dia bekerja di Yogya. Entah apakah sudah menikah. Entah apakah sudah punya anak. Kabar terakhir yang saya terima, enam tahun lalu, dia tinggal di asrama mahasiswa UGM Dharma Putra. Saya juga pernah tinggal di sana. Berarti saat itu Yusuf masih kuliah. Setelah itu saya tidak pernah lagi mendengar kabarnya. Saya bekerja di Jakarta lalu pindah ke Surabaya, dan balik lagi ke Jakarta. Di milis angkatan kami pun, filsafatsongopapat, Yusuf nyaris tidak pernah mengirim berita.

Hingga kemudian, hari ini, berita kematiannya mengisi milis milik angkatan kami.

Sampai hari ini saya tidak tahu apa penyebab meninggalnya Yusuf. Kasino, kawan kuliah yang lain di UGM, hanya mengabarkan Yusuf telah meninggal hari ini. Mungkin Kasino juga tidak tahu kabar jelas musabab meninggalnya kawan kami.

Saya tepekur diam.

Innalillahi wa innailaihi rojiun.

Saya kaget. Saya sedih. Seperti de javu. Satu lagi kawan dekat meninggal dunia. Enam tahun lalu, di Nagoya, saya juga mendapatkan kabar yang sama. Beritanya melalui email, dari seseorang yang hingga sekarang saya tidak tahu wajahnya. Di email itu ia hanya mengaku sebagai kawan dekat Dewi Damayanti, seorang kawan sekolah SMA saya di Tuban. Dewi adalah mahasiswi kedokteran di Universitas Brawijaya. Sebelum berangkat ke Nagoya, ia sempat berjanji akan mengirim email untuk saya. Hingga kemudian, hari itu, saya menerima email yang mengabarkan bahwa Dewi telah meninggal dunia karena kecelakaan. Mobil yang ditumpanginya menabrak beton pembatas sungai sepulang menghadiri pesta perkawinan kakaknya di Jember.

Esoknya, saya baca beritanya di Jawa Pos online. Benar, Dewi telah meninggal.

Saya tidak ingin sentimentil. Kematian, laiknya kehidupan, adalah takdir. Kita pun akan mengalaminya. Cuma soal waktu. Cuma soal kapan. Entah esok, nanti, atau malah sesaat lagi. Semua akan meninggalkan kehidupan.

Kematian seorang kawan, sekedar semakin mengingatkan kita. Hidup cuma sebentar.

Seorang filsuf dengan galau pernah bergumam, "Kehidupan, kematian, betapa absurdnya". Ia merenungi kenapa harus ada kematian jika ada kehidupan. Lalu apakah arti hidup? Kenapa harus ada ide kehidupan yang lain. Apa artinya kerja keras, berbuat baik, beramal, beribadah, jika semuanya harus berakhir hanya dengan berhentinya setarikan nafas.

Kenapa begitu mudahnya semua selesai.

Sebuah kegelisahan yang manusiawi, bukan?

Tetapi benar, kematian selalu membawa duka. Sedih. Sungkawa. Kita sedih harus kehilangan orang yang kita kasihi.

Selamat jalan kawan, semoga tenang di alam baka.

Medhy Aginta Hidayat

Artikel ini bermanfaat untuk Anda? Klik disini untuk berlangganan Blogguebo.

Perihal Blog Ini


Saya tidak mau terlalu serius. Ini sekedar blog. Bukan karya ilmiah. Blog ini berawal dari iseng belaka.

Isinya apa saja yang sederhana.

Remeh-temeh.

Perihal hidup sehari-hari.

Soal-soal kecil.

Sekedar berbagi menghargai kehidupan lewat tulisan.

Selamat membaca!

Medhy Aginta Hidayat
Pemilik Blogguebo