Melayani dan Dilayani


Saya ingin menulis soal sederhana.

Mumpung ingat. Dan ada gairah untuk menuliskannya sekarang.

Ini soal melayani dan dilayani. Soal sepele yang bisa punya dampak luar biasa.

Mohon jangan berpikiran mesum dulu.

Melayani dan dilayani tidak selalu identik dengan soal adegan ranjang, bukan? Melayani dan dilayani bisa punya banyak arti. Dan melayani serta dilayani disini adalah relasi melayani-dilayani antara rakyat, pembayar pajak, sang pemberi amanat dan negara.

Ini pengalaman saya sendiri menghadapi lembaga pelayanan publik yang dikelola negara.

Empat bulan yang lalu saya mengurus paspor. Sebenarnya saya malas melakukannya jika tidak karena terpaksa. Paspor saya telanjur mati setahun yang lalu. Paspor itupun cuma dipakai sekali ketika mengikuti program pertukaran mahasiswa di Nagoya selama 1999-2000. Setelah itu saya lupa jika punya paspor. Maklum, waktu itu saya pikir tidak mungkin saya bisa ke luar negeri lagi, apalagi dengan biaya sendiri. Buat saya, itu seperti mimpi yang terlampau tinggi.

Hingga ternyata, untuk suatu keperluan, saya harus ke luar negeri lagi. Terpaksa mengurus paspor baru di sebuah kantor imigrasi.

Di kantor imigrasi saya datang dan mengurus paspor sendiri. Bolehkan saya ingin menjadi warga negara yang baik. Tidak melalui calo. Kenapa? Karena di depan pintu kantor itu tertulis dengan huruf besar-besar larangan mempergunakan calo dalam pengurusan paspor.

Dan mulailah saya mendapatkan pengalaman pelayanan buruk dari sebuah sistem birokrasi negara.

Awalnya, saat mengisi formulir permohonan paspor tidak ada masalah. Lancar. Semua pemohon diperlakukan sama. Gelagat rusaknya sistem mulai muncul ketika saya menyerahkan formulir permohonan. Si petugas tidak ada di loket. Saya dan puluhan pemohon pribadi yang lain berdiri mengantri. Menunggu. Dengan sabar. Dengan hati gundah. Berharap ada informasi mengapa petugas belum ada di loket. Dan tidak ada informasi apa-apa.

Namun di dalam ruang loket, hilir mudik orang dengan baju sipil, membawa setumpukan tebal dokumen permohonan paspor. Mereka sedang berbicara dengan petugas loket kantor imigrasi. Mereka yang berbaju sipil pasti bukan pegawai kantor imigrasi, pikir saya. Pegawai imigrasi semuanya berpakaian dinas harian departemen mereka. Lalu bagaimana mereka bisa ada di dalam ruangan loket, sementara di depan pintu loket tertulis jelas: Selain Petugas Imigrasi Dilarang Masuk! Belakangan saya tahu mereka adalah para pegawai biro perjalanan yang sudah bertahun-tahun hidup dari jasa pengurusan paspor. Mereka bisa masuk ke dalam ruangan loket dengan memberikan sejumlah uang. Saya melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana calo-calo itu menyelipkan uang Rp. 50.000 bahkan Rp. 100.000 di dalam map-map permohonan paspor yang mereka urus.

Ketika petugas loket muncul, dengan gaya angkuhnya yang khas kantor pelayanan publik di negeri kita, saya ditanya,"Bapak mau mengurus baru atau perpanjangan?" Saya tunjukkan paspor mati saya. "Saya ada paspor tapi sudah mati," kata saya. Dan petugas itu berkata, "Wah, kalau sudah mati harus cari dokumennya dulu Pak. Agak lama". "Berapa lama?" tanya saya. Dia tidak menjawab pertanyaan saya. Cuma diam. Saya juga diam. Lalu sejurus kemudian dia berkata, "Kalau Bapak mau cepat, saya mintakan tolong orang untuk cari. Kasih ongkos carinya saja Rp. 20.000."

Saya bingung. Bukankah itu sudah tugas lembaga imigrasi untuk mencari dokumen lama saya? Bukankah sudah tugas lembaga pelayanan publik untuk melayani pengguna layanannya yang membayar pajak untuk negara? Lho kok minta ongkos cari dokumen?

Selesai dengan soal itu, saya menghadapi soal berikutnya. Setelah semua proses permohonan yang memakan waktu hampir seharian selesai, saya ditanya lagi, "Bapak mau selesai kapan?" Lho, bukannya tanpa ditanya seharusnya bisa selesai dalam waktu 3 hari? Itupun saya tahu setelah membaca papan informasi kantor imigrasi. "Seperti yang tertulis selesai 3 hari kan, Pak," kata saya. "Wah, nggak bisa Pak. Kita harus tunggu dari Jakarta dulu. Paling cepat 5 hari," kata petugas imigrasi itu.

Saya sedang malas berdebat. Mengiyakan, lalu pulang.

Tapi buruknya sistem pelayanan publik di kantor imigrasi belum selesai sampai disini. Lima hari kemudian saya datang lagi. Harapan saya tentu paspor baru sudah jadi. Ternyata, bisa ditebak, belum jadi. Dengan enteng petugas kantor pelayanan publik itu berkata keputusan belum ada dari Jakarta.

Saya geram. Hanya gara-gara itukah?

Tapi saya curiga bukan gara-gara keputusan itu.

Sambil terus berdiri mematung di depan loket akhirnya sambil berbisik saya minta bantuannya agar bisa memuluskan paspor saya selesai hari itu juga. "Kasih Rp. 50.000 lah Pak, untuk orang belakang," akhirnya petugas itu menyanggupi. Keluarlah uang lima puluhan ribu saya yang terakhir dari dompet kucel saya.

Sore hari, ketika kantor hampir tutup, akhirnya paspor saya selesai. Biayanya? Rp. 320.000. Padahal jelas tertulis di papan informasi untuk paspor 48 halaman biayanya Rp. 270.000. Kenapa bisa berbeda? Yang aneh, pembayaran biaya paspor tidak dilakukan di loket kasir, melainkan kepada petugas loket itu sendiri. Dan yang lebih aneh lagi, uang pembayaran itupun diterimanya dengan langsung dimasukkan ke dalam kantong celananya sendiri. Bukti pembayaran pun, jika tidak saya minta, petugas itu tidak memberikan.

Tapi sudahlah, saya sudah capek. Dan malas berdebat. Saya cuma ingin paspor saya selesai.

Saya langsung pulang. Tidur.

(sebuah pengalaman buruk menghadapi lembaga pelayanan publik di negara kita).

Pelayanan buruk seperti ini adalah pemandangan sehari-hari di negeri kita. Tidak hanya di kantor imigrasi. Tapi hampir di semua kantor pelayanan publik. Sistem yang tidak berfungsi, deskripsi kerja yang tidak jelas, birokrasi negara yang terlampau gemuk, mental birokrat negara yang arogan, administrasi yang kacau-balau, gaji yang rendah, tuntutan kerja yang tinggi, gaji sama namun porsi kerja berbeda, kontrol atasan yang lemah, semuanya berjalin kelindan menciptakan sebuah lembaga pelayanan publik yang rusak.

Lembaga pelayanan publik yang seharusnya melayani malah jadi tempat jual beli.

Saya tidak tahu siapa yang salah. Tapi itulah salah satu realitas buruk di negeri tempat kita hidup, Indonesia.

Dilayani, betapa mahal (dan repotnya) di negeri ini.

Medhy Aginta Hidayat

Artikel ini bermanfaat untuk Anda? Klik disini untuk berlangganan Blogguebo.

0 comments:

Post a Comment