Beban Ekonomi Akibat TB yang Kualami

   Sedih dan bingung, itulah yang sedang saya rasakan akhir-akhir ini. Bagaimana tidak? Kondisi bapak saya semakin hari semakin lemah karena MDR TB yang dideritanya. Memang awalnya kami tidak khawatir soal biaya pengobatan TB-nya selama ini karena masih ditanggung pemerintah dengan jamkesda. Selama setahun berobat ternyata kondisi bapak saya belum ada perubahan. Entah ini karena pengobatan TB yang kurang tepat, pernah putus obat, atau memang penyakitnya sudah menjalar ke bagian lain. 
 
dokumen foto pribadi
   Beliau sering mengeluh sesak nafas, kelelahan, dan kurang nafsu makan. Nafasnya sering terdengar ngos-ngosan di pagi hari ketika udara dingin. Semakin hari berat badan bapak saya menurun hingga 33 kg di usianya 79 tahun. Menurut artikel yang saya baca penurunan berat badan ini dikarenakan adanya bakteri TB yang berkembang dalam tubuhnya. 

   Kesalahan terbesar saya adalah lupa memeriksakan bapak saya kembali untuk mengecek apakah paru-paru bapak sudah bersih dari kuman TB atau belum setelah mengonsumsi OAT selama setahun. Mendengar bapak sering mengeluh sesak nafas lagi, saya kembali memeriksakan beliau ke dokter yang menangani di rumah sakit umum setempat. 

   Dokter kami merujuk bapak untuk tes kebal obat di Solo tetapi karena dahak bapak saya tidak bisa keluar kami pun disuruh pulang kembali ke Blora untuk periksa dahak terlebih dahulu sebelum dibawa kesana lagi. Di Blora pun dahaknya susah keluar meski sudah diberi obat ambroxol dan OBH dari puskesmas. Kami kembali lagi ke rumah sakit dan dokter akhirnya merujuk ke dokter swasta saja di Semarang supaya bisa langsung diambil tindakan lebih cepat dan tidak ribet dengan prosedur. 

   Setelah berkonsultasi, kecemasan saya timbul saat dokter menyarankan bapak saya untuk menjalani CT Scan paru dengan kontras. Dokter ingin memastikan apakah dengan hasil rontgen bapak saya ini memang karena cenderung TB, bekas TB, atau ada keganasan. Sedangkan untuk menjalani CT Scan ini ternyata kami harus menanggung biaya sendiri. Tak hanya beban ekonomi yang berat yang kami rasakan, tetapi juga beban mental. Kami mengupayakan untuk mengurus BPJS juga tetapi itu tidak membantu, karena meskipun kami menggunakan BPJS masih perlu nombok lagi untuk menjalani CT Scan paru. 

    Saya mulai berpikir, andaikan kami bisa menjalani CT Scan pun dan jika ternyata memang benar adanya keganasan tersebut, pengobatan akan terus diperlukan sedangkan biaya pun makin bertambah. Kami harus memikirkan biaya transportasi pulang pergi ke rumah sakit di luar kota dan juga memikirkan biaya konsultasi dokternya dan belum lagi biaya-biaya lainnya yang tidak bisa kami bayangkan bagaimana cara kami membayar semua biaya ini? Tak hanya waktu yang tersita, tetapi tenaga, pikiran, dan uang pun terkuras. 

   Saya juga harus meninggalkan pekerjaan saya demi menemani bapak bolak-balik berobat ke luar kota dan itu artinya tidak ada pemasukan. Akhirnya saya harus berhutang kesana-kemari untuk membayar biaya pengobatan TB bapak diluar pengcoveran BPJS. Beban ekonomi akibat TB sangat kami rasakan dalam keluarga kami. 

   Oleh sebab itu alangkah lebih baiknya mencegah atau mendeteksi TB sejak dini dan langsung memeriksakan diri ke dokter ketika kita terinfeksi TB dengan gejala batuk lebih dari 2 minggu, demam, keringat dingin di malam hari, dan nafsu makan berkurang hingga mengakibatkan penurunan berat badan. Hal ini dimaksudkan agar beban biaya pengobatannya tidak terlalu besar seperti pengalaman yang saya alami ini. 

   Dan pesan saya, ketika minum obat TB harus sampai rutin dan tuntas agar kuman TB tidak resisten/ kebal obat sehingga menjadi MDR-TB dengan asumsi biaya yang lebih mahal. Bisa kita lihat pada gambar dibawah ini : 

sumber disini

Tentu saja efek samping MDR-TB lebih berat daripada TB biasa dengan masa pengobatan lebih lama sekitar 2 tahun. Sedangkan seandainya jika  mau rutin dan tuntas dalam minum obat TB hanya butuh waktu 6-9 bulan saja dan yang pastinya biayanya masih bisa ditanggung karena masih dicover pemerintah. 

   Tak hanya saya, tetapi orang-orang yang mengalami nasib serupa akibat TB juga turut merasakan beban ekonomi yang berat. Yang tidak terjangkau dengan penanganan yang cepat dan pengobatan yang rutin sampai tuntas akan menjadi MDR TB dan bisa juga mengalami kematian. 

   Pepatah “Miskin jangan sakit” sangat cocok sekali untuk mengungkapkan beban ekonomi akibat TB ini. Karena kemiskinan, orang jadi kurang asupan gizi yang seimbang, mereka tinggal di tempat yang tidak sehat sehingga tidak bisa memelihara kesehatannya dengan baik. Akibatnya mereka akan mudah jatuh sakit. Kalau sakit kan musti berobat padahal biaya pengobatan cukup mahal. Namun jika tidak berobat penyakitnya bisa jadi makin parah. Beban biaya pengobatan yang harus mereka tanggung membuat mereka jadi semakin miskin. 

    Karena kemiskinan yang mereka alami kebanyakan masyarakat enggan memeriksakan dirinya ke puskesmas atau rumah sakit ketika terinfeksi kuman TB. TB adalah pembunuh nomor 1 diantara penyakit menular lainnya dan I menduduki peringkat 3 dalam 10 penyakit pembunuh tertinggi di Indonesia. 

   WHO memperkirakan jumlah kasus TB di dunia sebanyak 8,6 juta, 0,5 juta diantaranya anak-anak dan 2,9 juta pada wanita. 1,3 juta orang di dunia ini meninggal akibat TB per tahunnya. Indonesia sebagai negara ketiga penyumbang kasus terbesar di dunia dengan beban TB yang masih sangat tinggi mengingat setiap tahun masih ada 460.000 kasus baru. 

   Dampak negatif TB dalam bidang ekonomi mengakibatkan 50% pasien TB mengalami penurunan pendapatan per tahunnya dan 75% pasien TB harus mengambil pinjaman atau berhutang untuk biaya pengobatan dan biaya hidup sehari-hari. Sedangkan yang menerima berbagai macam bantuan (termasuk asuransi) hanya sekitar 22% dari pasien TB dan 34% pasien MDR-TB. 

   Tak jarang pasien MDR-TB terpaksa menjual asset mereka atau berhutang demi menutupi biaya pengobatan. Pasien MDR-TB lebih sering kehilangan pekerjaan mereka yang disebabkan oleh TB dibandingkan dengan pasien TB (53% vs 26%). 

   Hilangnya produktifitas disebabkan kecacatan/kematian dini mencapai 2 jt USD (tanpa discount rate) utk kasus TB aktif baru dlm 1 th (2011) Rerata biaya pengobatan perkapita pada tahun 2011 sebesar 33 sen USD dan meningkat menjadi 228 USD pada tahun 2014, sedangkan untuk pengobatan MDR TB akan menjadi 10.027 USD. Besarnya peningkatan biaya layanan disebabkan oleh target pengobatan yang lebih tinggi untuk kasus MDR-TB. 

   Target Kemenkes utk penemuan dan pengobatan, total biaya pemberian pelayanan seluruh wilayah negara diproyeksikan meningkat dengan pemberian layanan seluruh wilayah dari sekitar 85 juta USD pada tahun 2013 menjadi 118 juta USD pada tahun 2016. 

   Mengingat beban ekonomi yang berat akibat TB ini maka penting sekali memperkirakan biaya pelayanan penyakit TB yang akurat di semua tingkat pemerintahan. Dalam hal ini pemerintah telah menyusun tiga kunci strategis dalam menghadapi keberlanjutan pembiayaan program TB, yaitu : 
  1. Meningkatkan alokasi pembiayaan pemerintah baik pusat maupun daerah 
  2. Meningkatkan pembiayaan asuransi dan kontribusi swasta sebagai contoh CSR 
  3. Penerapan program secara cost-effectiveness dan efisien. 
   Dan pada tahun 2013 Management Science for Health (MSH) dan Kementrian Kesehatan telah selesai mengembangkan alat costing (costing tools) yaitu sebuah alat untuk menilai efektivitas biaya pelayanan MDR-TB yang telah diuji di RS Moewardi Solo, Jawa Tengah. Dengan harapan agar alat ini mudah digunakan bagi Pemda maupun LSM yang bergerak di bidang TB sebagai alat advokasi. 
   Model ini memperhitungkan beban biaya ekonomi akibat penyakit TB dengan melihat alur kejadian dan biaya yang timbul baik pasien yang diobati maupun tidak diobati. Adapun jenis biaya yang diperhitungkan diantaranya :
  1. Biaya medis TB dari pasien yang dirawat
  2. Beban biaya rumah tangga untuk pasien yang diobati
  3. Kerugian produktivitas akibat disabilitas
  4. Kerugian produktivitas akibat kematian prematur 

  Gambar Metodologi yang digunakan dalam simulasi ini adalah dengan memperhitungkan seluruh biaya langsung pelayanan berdasarkan standar pelayanan TB dan biaya-biaya tidak langsung seperti kegiatan preventif dan promotif program TB berdasarkan pengeluaran Dinas Kesehatan dan Puskesmas di Jawa Tengah. Hasil dari biaya tersebut kemudian disesuaikan dengan epidemiologi dan targetnya hingga tahun 2021.
sumber disini

Keterangan :
  • Semua asumsi pembiayaan dapat sepenuhnya disesuaikan dan mudah diperbaharui dalam alat penghitungan
  • Hitungan berdasarkan data 2011 dan diproyeksi hingga tahun 2021  
  • Laju pertumbuhan masyarakat tahunan = 1%  
  • Biaya inflasi nasional = 4.5%  
  • Biaya ditampilkan dalam US dolar  
  • Biaya dari biaya rawat inap pasien untuk sementara menggunakan tarif yang dikumpulkan dari rumah sakit 
   
   Dengan perkiraan  443.000 kasus TB per tahun. Setiap pencegahan kasus TB dapat menghemat beban biaya yang dikeluarkan pemerintah. Dengan memperkuat pencegahan kasus, maka untuk penyakit TB dapat menghemat biaya sistem kesehatan hingga mencapai $171 dan mengemat pengeluaran keluarga hingga $791. 
   Sedangkan untuk MDR-TB, biaya yang dapat ditekan mencapai $4,972 dan beban keluarga mencapai $4,077. Oleh karena itu, pembiayaan TB yang hanya kurang lebih sebesar $20 cents per kapita dapat memberikan kontribusi yang besar dalam menurunkan kasus TB menjadi MDR-TB, melindungi individu dari kemiskinan, dan membangun ekonomi bangsa Indonesia (sumber: disini)

sumber referensi : 
- http://www.kpmak-ugm.org/2012-05-12-04-54-35/2012-05-12-05-03-45/article/415-beban-ekonomi-dan-biaya-layanan-kesehatan-program-tuberkulosis-di-indonesia.html
- http://blog.tbindonesia.or.id/


0 comments:

Post a Comment