Jika Aku Tidak Pernah Sakit GERD

   Terkadang rancangan Tuhan tidak bisa kita mengerti dan saat itu terjadi kita bahkan bisa saja menyalahkan Tuhan atas apa yang menimpa kita. Tetapi kemudian setelah kita melewati masa masa itu kita baru mengerti oh ini to maksudMu Tuhan. Kita baru bisa bersyukur setelah terjadi kekecewaan yang mendalam akan sesuatu. 

   Aku pernah mengalami masa itu dan kurasa demikian juga dengan saudara sekalian. Awalnya aku sangat menikmati pekerjaanku hingga GERD merenggut semuanya itu. Aku diPHK karena sering bolos kerja akibat sakit GERD yang tak kunjung sembuh, aku kehilangan masa remajaku, masa dimana lagi asyik-asyiknya jalan-jalan keluar kota bersama teman-temanku, menikmati segala macam makanan tanpa efek mual maupun muntah, bahkan waktu itu aku kehilangan teman-temanku. 

   Kurasakan kesendirian yang amat sangat mendalam ketika aku harus diopname di rumah sakit tanpa ada yang menungguiku. Saat aku sendiri, beberapa kali perawat mengingatkanku akan pelunasan biaya administrasi rumah sakit dan itu cukup membuatku cemas. Mereka menanyakan tentang dimana keluargaku. Saat itu juga aku merasa pentingnya sebuah keluarga. 

   Tadinya aku memang sengaja tidak memberitahukan kepada bapakku yang masih di Blora agar beliau tak usah menjenggukku. Aku tak tega karena beliau sudah lanjut usia, aku tak ingin merepotkan. Sedangkan waktu itu adikku belum tiba di rumah sakit. Sempat terpikir olehku betapa nyamannya apabila setiap orang sakit yang sedang sakit bisa istirahat dengan tenang di sana tanpa ada rasa cemas tidak bisa bayar biaya administrasi rumah sakit (Beruntung ya sekarang sudah ada BPJS.) 

   Waktu itu plafon berobat gratis dari kantor pun sudah habis karena aku sering keluar masuk rumah sakit karena GERD. Mungkin teman-temanku sudah bosan menjenggukku, entah kenapa saat mereka menjenggukku dulu aku tampak sehat sedangkan aku kumat lagi (muntah asam lambung) ketika tidak ada orang yang menjengukku. Entah kenapa aku harus muntah hanya dijam jam tertentu saja sehingga tidak ada bukti kalau aku benar-benar sakit. Hanya orang yang menunggu pasien yang lain saja yang tahu kalau aku kumat. Hal itu membuat teman-teman di kantorku mengira aku pura pura sakit. Mereka semua menyindirku, “Wah enak ya liburan di hotel.” Aku maklum karena mereka tidak tahu yang sebenarnya. 

   Pernah suatu kali pada jam 2 siang, aku muntah di kamar mandi selama berjam-jam dan infusku sudah mulai habis. Darah sudah mengalir balik ke tabung infusnya, aku terpaksa hentikan muntahku dan mencoba keluar dari toilet dan mencari perawat. Aku benar-benar merasa sendiri. Aku mengerti apa itu kesendirian. Meskipun aku sendiri, namun aku tahu Tuhan tidak membiarkanku sendiri. 

   Akhirnya, Ia mengirimkan seorang sahabat untuk merawatku selama opname sampai adikku datang. Mereka berdua tidak selalu bisa menemaniku karena harus bekerja juga. Seminggu aku dirawat di rumah sakit dan aku cukup paham dengan arti sendiri. Hingga saat aku keluar dari pekerjaanku dan harus pulang ke kampung halamanku aku benar-benar merasa sedih. Aku kehilangan semuanya, uang pesangon yang seharusnya aku dapatkan habis ludes untuk melunasi hutangku selama di rumah sakit. Tapi Tuhan sekali lagi tidak membiarkanku hidup dalam kekurangan. Dia memberi berkat secara tak terduga dan jumlahnya sama dengan uang pesangonku. Bahkan aku pulang ke blora dengan naik taksi dibayari dan diantar sahabatku. 

   Sampai di Blora pun aku benar-benar belum tahu apa rencana Tuhan atas hidupku. Masih dalam keadaan sakit dan terkapar di tempat tidur dengan badan yang sangat kurus (30kg) tadinya BBku 35kg. GERD telah membuat BB ku turun drastis. Yang kulakukan setiap hari saat tidak kumat adalah mendengarkan khotbah Pdt. Gilbert Lumoindong di radio rohani setiap jam 6 pagi. Aku mencatat setiap kotbahnya. Aku membaca Alkitab setiap hari hingga Tuhan membuka jalan kesembuhan kepadaku. Tak hanya doa, tapi aku sangat ketat jaga makananku. Uang berkat itu akhirnya habis untuk berobat lagi dan aku pun sembuh. 

   Jika aku tak pernah sakit GERD mungkin aku sampai hari ini tidak mau belajar memasak makananku sendiri, aku dulu sangat suka makan mie instan, daging, dan ayam aku tak suka sayuran. 

    Jika aku tak pernah sakit GERD aku tak mungkin menulis di surat kabar, meski hanya surat pembaca.

     Jika aku tak pernah sakit GERD aku takkan pernah kenal dengan sahabatku ini.

   Jika aku tak pernah sakit GERD mungkin aku tidak pernah memperhatikan apa yang kumakan, aku hanya mau makan yang enak-enak saja tanpa memperdulikan sehat tidaknya makanan itu. 

   Jika aku tak pernah sakit GERD aku tak kan jadi orang yang lebih perhatian pada orang lain. Aku tak pernah mau memahami orang lain, aku sangat egois. 

   Jika aku tak pernah sakit GERD aku tak kan tahu rasanya sendirian itu menyiksa. Aku mungkin kehilangan semua yang kumiliki tapi aku mendapat sesuatu yang baru, apakah itu? Ya sebuah pekerjaan yang bisa kulakukan secara fleksibel di rumah. Meski di rumah tapi aku bisa tetap menghasilkan uang dengan apa yang bisa kulakukan. 

   Jika aku tak pernah sakit GERD aku tak akan pulang ke Blora dan tidak tahu kalau bapakku kena TB dan harus dirawat secara rutin. 

   Dan yang terutama dari semua itu, Jika aku tak pernah sakit GERD aku tak akan menjadi seorang desainer blog. 

    GERD telah membuatku belajar banyak hal baru yang tidak pernah kupikirkan sebelumnya. GERD membuatku bertemu teman-teman senasib dan sepenanggungan yang sama-sama kena GERD sehingga aku merasa tidak sendiri lagi dengan penyakit yang terbilang aneh ini. Melalui forum yang kuikuti forum GIHM Indonesia, aku bertemu seseorang yang mengantarkanku menekuni dunia kepenulisan.

1 comments:

  1. Amen, saya sangat terinspirasi dengan tulisan ini, karena saya juga seorang penderita GERD yang puji Tuhan belum sembuh2 hingga detik dimana saya mengomentari di blog ini,saya juga percaya ada rencana Tuhan buat saya, seperti rencana Tuhan buat penulis blog ini.

    ReplyDelete