Perjalanan Berobat ke Semarang

   Setelah semua surat-surat untuk keperluan berobat keluar kota kulengkapi, aku dan bapak berangkat ke Semarang pada Selasa minggu lalu. Kali ini kami tidak diantar paman lagi melainkan naik travel. Saat akan berangkat hatiku bergejolak rasanya capek tak ingin pergi keluar kota lagi tapi aku harus kuat demi bapakku. Di saat seperti itu Tuhan pun tahu, Dia menghibur hatiku. Surprised banget karena diluar dugaanku travel yang kutumpangi beda banget, bagus bak mobil pribadi. Hanya ada 5 orang penumpang disana. Dan yang membuatku semangat pergi karena ternyata sopirnya ganteng banget. Sungguh berbeda saat aku ke Solo minggu lalunya lagi, yang mana aku tepar dan muntah terus di mobil. 

   Meski terjadi kemacetan di dua titik dan mengakibatkan perjalanan Blora-Semarang yang seharusnya hanya 3-4 jam jadi 7 jam tapi aku sangat menikmatinya. Rupanya ini penghiburan dari Tuhan. Hati yang gembira bukan hanya menjadi obat yang manjur tetapi juga jadi anti mabok darat. 

   Kami berangkat jam 1 siang dan sampai Semarang jam 8 malam menuju kos an adikku. Kami tinggal di lantai 3 kamar teman adikku. Setelah melepas lelah, adikku mengajakku membeli makan di café langganannya. Disana aku bertemu dengan 3 orang teman adikku dan kami berkenalan. Aku tak makan disana karena ada bapak yang menunggu di kos. Jadi aku bungkus makanan itu agar bisa makan bersama bapakku. Setelah kenyang, kami pun beristirahat. 

   Keesokan harinya pagi-pagi kami harus ke rumah sakit untuk mendaftarkan bapak ke instalasi rawat jalan. Setelah surat-surat seperti fotokopi rujukan (dokter keluarga/puskesmas, RSU setempat, dan fotokopi kartu BPJS) kuserahkan ke petugasnya, aku mengambil nomor antrian dan mendaftar ke dokter spesialis. Menurut info dari rumah sakit, dokter hanya membatasi 3 orang saja yang bisa berobat gratis. 

   Sampai di rumah sakit jam 8 pagi hari itu sangat sepi. Sepertinya Tuhan memperlancar semuanya. Aku mendapatkan nomor urutan 1 yang mendapat gretongan berobat. Sedangkan periksa dokternya jam 5 sore. Karena jarak kos adikku ke rumah sakit cukup jauh, jadi kami memutuskan untuk menunggu dokternya di rumah sakit. Bisa dibayangkan dari jam 8 pagi sampai jam 5 nongkrong di rumah sakit. Demi pengiritan ongkos transport karena naik taxi kena Rp.21.000 sekali jalan. Untungnya waktu itu kami diantar adikku dan temannya naik brompit. Antri dokter ini harus ontime kalau ga bisa disuruh mundur 3 nomer, kan eman? 

   Demi tidak disuruh mundur, aku menahan kencing dan lapar. Waktu terasa lama sekali, dokter baru datang pada pukul 17.30. Setelah itu kami masuk dan dokter memeriksa bapakku. Malam itu juga dokter langsung suruh bapak opname untuk keperluan diagnosa cepat yang tidak bisa ditunda lagi. Rasa laparku tiba-tiba hilang ganti lemas, pusing, dan mual. Aku harus segera mengambil obat dan infus ke apotik dan mengurus pesan kamar. Antri obat juga lama, kepalaku makin pusing. 

   Setelah menunggu beberapa saat, obat dan infuse di tanganku dan kami memutuskan untuk makan malam dulu sebelum pesan kamar. Bapakku sering bingung menentukan menu makan kalau sudah masuk ke warung. Dia memperhatikan tulisan menu di layar penutup warung itu mau makan apa? 

   Kami sempat mendesak bapak untuk segera pesan makanan karena sudah lapar. Saat kami beradu pendapat, rupanya ada sepasang suami istri yang juga makan disana yang memperhatikan kami. Selesai makan, kami berbicang sebentar dan saat mereka hendak pulang, sang suami membayar semua makanan kami. Oh puji Tuhan, padahal kami tak kenal satu sama lain. Entah apa yang membuatnya menraktir kami waktu itu. 


   Usai makan, aku dan adikku menuju ke bagian administrasi untuk memesan kamar. Kelas 3 semalam bayar Rp. 132.000, biaya dokter Rp.72.000, kalau ruang isolasi kena 303.000 semalam. Aku sempat cemas dan takut kalau bapakku dimasukkan ke ruang isolasi karena penyakitnya bagian paru-paru dan pernah berobat TB. Tuhan kembali memperhatikan kami. Aku mendengar perbincangan pasien yang sulit mendapat kamar, membuatku makin takut. 

   Petugas administrasi meminta surat-surat rujukan, KTP asli dan kartu BPJS bapak. Dalam hati aku terus berdoa, supaya dapat kamar kelas 3. Kulihat petugasnya sangat sibuk di dalam memeriksa berkas-berkas pasien. Beberapa saat kemudian, salah satu petugasnya memberitahukan bahwa bapakku mendapat kamar kelas 3. Oh puji Tuhan, aku senang sekali. 

   Segera kuhampiri bapakku dan ada petugas yang membawa kursi roda untuk mengantar bapak ke kamarnya.meski kamar itu kelas 3 tapi sangat bersih dan bagus, bapakku mengira itu kelas 1. Rumah sakit ini memang sangat terkenal karena kebersihannya. Di kamar itu ada 6 bed, 1 TV LCD dan kamar mandi. Aku berulangkali dipanggil untuk tanda tangan berkas-berkas keperluan rawat inap. Pasang infuse juga dimintai tanda tangan, setelah mendengarkan informasi dari perawat aku juga harus tanda tangan. Adikku kembali ke kosnya dan membawakan kami baju-baju untuk tinggal di rumah sakit 2 hari. Dokter yang memeriksa kami akan tiba besok pagi untuk memeriksa bapakku. CT Scan dijadwalkan hari Kamis pagi.

0 comments:

Post a Comment