SKS (Sistem Kebut Semalam)

   Setiap aku berhasil menjadi juara kelas entah itu juara satu, dua, atau tiga, biasanya orangtuaku menraktirku makan rawon di restoran sebagai hadiah atas keberhasilanku. Bagi orang lain, mungkin hadiah itu terlalu sederhana, tetapi bagiku bisa makan rawon di restoran karena berhasil menjadi juara kelas itu adalah hal yang luar biasa. Maklum, keluarga kami hidup pas-pasan jadi hanya pada momen tertentu saja kami bisa makan di luar. 

    Sejak masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak sampai Sekolah Dasar pun, aku jarang membawa uang saku dari rumah. Bukan karena ibuku tidak pernah memberiku uang saku, melainkan karena bagiku jika sudah cukup kenyang makan dirumah maka tidak perlu membeli jajan di luar lagi. Sebetulnya, Ibu pernah memberiku uang saku namun kukembalikan lagi sewaktu pulang sekolah karena perutku masih kenyang. 

   Setiap pulang sekolah, ibu selalu memeriksa buku pelajaranku. Beliau selalu mengingatkanku untuk segera mengerjakan PR setiap mendapat tugas dari sekolah dan tidak boleh menunda-nunda dalam mengerjakannya agar tidak lupa. 

   Kebiasaan ini diterapkan oleh kedua orangtuaku sejak aku masih kecil. Karena sudah dibiasakan demikian, setiap ada tugas, otomatis aku kerjakan tanpa menunggu komando. Kebiasaan itu terbawa sampai sekarang. Setiap mendapat tugas, aku selalu menyelesaikannya tepat waktu. 

    Ketika akan ada ulangan di sekolah, aku menerapkan SKS (Sistem Kebut Semalam). Hehe…, kalau yang ini jangan dicontoh ya. Tetapi meski demikian untungnya nilai ulanganku lumayan juga. 

   Selama bersekolah di Sekolah Dasar hingga SMP kelas 1 memang aku tidak pernah menyontek karena kata guruku, menyontek itu sama artinya dengan mematikan pikiran kita. Tak pernah terbesit di benakku untuk menyontek. Tetapi entah mengapa, ketika aku duduk di bangku SMP kelas 2 mulai ada rasa penasaran ingin ikut-ikutan teman menyontek. 

   Waktu itu akan dilaksanakan ujian caturwulan pertama di kelas 2 SMP. Aku juga menerapkan SKS tetapi bukan SKS untuk belajar, melainkan SKS menulis contekan di kertas. Maklum baru pertama kali menyontek dan kurang berpengalaman jadi kutulis saja contekanku itu di buku kosong. Padahal pada umumnya, kalau membuat kertas contekan biasanya di kertas kecil-kecil. 

   Hari pertama ujian, aku berhasil menyontek dan tidak ketahuan guru pengawas. Oleh karena itu keesokan harinya aku mencoba menyontek lagi. Namun, ketika aku hendak mengerjakan soal nomor 1, aku sudah mulai membuka contekan, padahal sebenarnya tanpa menyontek pun aku bisa mengerjakannya. 

   Sebelum membuka buku contekan, aku memperhatikan sekelilingku. Kulihat guru pengawasnya tidak terlalu memperhatikan murid-murid yang lain. Seketika itu juga aku mulai beraksi, kuambil buku contekan yang kusembunyikan di laci meja. 

   “Srek….” 

   Ketika mendengar suara lembaran buku contekan yang kubuka, guru pengawas itu mengalihkan perhatiannya dan memandang ke arahku. “Wah, gawat ketahuan nih!” gumamku penuh ketakutan. 

   Guru pengawas itu dengan tenang menghampiriku dan mengambil buku contekan beserta kertas ujianku. Ia mencatat nomor urut ujianku. Ketika semua mata memandang ke arahku, perasaanku mulai diliputi ketakutan yang amat sangat. 

    Hanya rasa sesal bercampur malu yang tersisa saat itu. Yang lebih mengecewakan lagi saat itu ujian agama. Entah mengapa ujian agama bisa-bisanya aku menyontek dan ketahuan. Jumlah soal ujian agama itu ada 40 soal, tapi akhirnya tidak bisa kukerjakan semua karena baru nomor 1 sudah ketahuan guru pengawas kalau aku menyontek. 

    Perasaan bersalah itu terus menghantuiku. Tubuhku melemas dan pikiranku kacau. Aku sangat ketakutan jika aku akan dihukum. Hari itu bertepatan dengan pergantian kepala sekolah yang baru. Aku takut dipanggil ke kantor kepala sekolah gara-gara menyontek. Hingga aku berpikir yang tidak-tidak secara berlebihan, misalnya dikeluarkan dari sekolah. 

   *** 

   Keesokan harinya aku tidak berani menyontek lagi. Apa yang kutakutkan juga tidak terjadi. Hingga selesai hari terakhir ujian caturwulan pertama, aku kembali belajar seperti biasa. 

   Hanya saja ketika ada pelajaran agama, aku sangat takut ketika bertemu dengan guru agama di sekolahku. Beliau memang tidak terang-terangan menegurku atas ulahku kemarin. Namun, aku tahu bahwa beliau sedang menyindirku dan aku menerima semua itu karena memang aku yang bersalah. 

   Memang berbeda rasanya jika mengerjakan soal ujian antara belajar atau dengan menyontek. Ada kepuasan tersendiri ketika aku mengerjakan soal ujian dengan belajar, meskipun nilai yang kudapat kurang bagus. Namun, jika menyontek meski hasilnya bagus, yang ada hanya rasa tidak puas dan takut apalagi jika ketahuan seperti pengalamanku waktu itu. 

    Sejak peristiwa itu hingga aku lulus SMU, aku tak pernah lagi menyontek maupun berpikir untuk melakukannya lagi. Aku lebih merasa bersalah kepada diri sendiri dan terutama kepada Tuhan karena tidak menggunakan akal pikiranku untuk berpikir sebelum bertindak. Aku benar-benar menyesal atas apa yang telah kulakukan waktu itu. 

0 comments:

Post a Comment