Pengalaman Pindah Kos
pinjam gambar |
Kejadian ini terjadi saat aku kos di Semarang. Awalnya aku sangat nyaman kos di sebuah rumah yang mana penghuni kosnya cuma 2 orang. Aku dan seorang temanku yang berprofesi sebagai perawat di sebuah rumah sakit. Selama setahun aku tinggal di kos tersebut, aku merasa tidak ada masalah. Semua baik-baik saja. Tetapi tiba-tiba suatu ketika ada kabar bahwa kos tersebut akan dijual oleh pemiliknya dan kami berdua harus hengkang dari sana. Ini menyita pikiranku, aku sudah sangat nyaman kos di tempat strategis begini eh malah disuruh pindah. Karena hatiku berontak sedangkan keadaan memaksaku untuk pindah akhirnya tanpa sadar aku sudah stress duluan. Masalah pindah kos aja dipikiri sampe stress, hehe itulah dasyatnya pikiran. Stres terjadi saat kita tidak suka melakukan sesuatu yang tidak kita sukai.
Ok, singkat cerita aku akhirnya dapat kos yang lain yang dekat dengan kantor tapi tempatnya tidak senyaman dulu. Mana ibu kosnya galak pula. Stresku makin bertambah karena banyak aturan di kos baru itu. Karena terlalu banyak pikiran, perutku sering mual dan akhirnya muntah-muntah. Setiap hari sepulang kerja aku muntah. Ketika ibu kos tau bahwa aku muntah dan sering menghabiskan air kamar mandi buat mengguyur muntahku yang berkali-kali dan berjam-jam itu membuatku diusir dari kos. Alasannya karena ibu kos takut air kamar mandinya habis karena buat nyiram muntahku. Whats?? Oh no, oke.
Akhirnya aku pun mengemasi barang-barangku dan pindah kos yang lebih jauh dari kantor dan untung ada teman yang meminjamkan sepedanya untuk alat transportasiku ke kantor. Di kos yang baru, aku menyewa kamar untuk 1 orang dan memang aku lebih suka tidur sendirian. Cukup banyak orang yang kos disana tapi kamarnya sendiri-sendiri. Kosku yang satu itu bebas banget, banyak cowok keluar masuk disana. Namun, aku tetap masih tidak nyaman karena tempatnya jauh dari warung makan dan penghuni kosnya cuek banget sama orang baru.
Di kos yang barupun aku masih muntah setiap pulang kerja. Kali ini aku muntahnya di kamar pakai kantung kresek. Supaya tidak terdengar dari luar setiap muntah aku setel radio keras-keras. Berhubung lama-kelamaan aku capek karena perjalanan dari kos ke kantor jauh banget akhirnya aku pindah lagi cari kos baru yang dekat kantor lagi dan yang tidak ada penghuni kosnya selain ibu kos. Temanku membantuku mencarikan aku kos baru.
Akhirnya aku dapat kos di sebuah rumah yang sederhana tapi strategis juga karena dekat kantor, dekat pasar, dan warung makan. Aku sudah kasih uang muka (DP) ke ibu kos itu, cuma bodohnya aku ga minta kuitansi. Keesokan harinya aku mengemasi barang-barangku dan kunaikkan becak, sedangkan aku naik sepeda mengikuti becak itu dari belakang. Sesampainya disana aku langsung masuk menemui ibu kosku yang baru. Barang-barangku masih ada di atas becak, aku menyuruh pak becak untuk menungguku. Betapa terkejutnya aku ketika aku hendak menaruh barang-barangku masuk ke kos yang baru, ibu kosnya seakan asing melihatku dan menyangkal bahwa ia telah menerima uang muka pembayaran kos dariku.
Bagai petir di siang bolong, aku merasa dibohongi. Untung waktu itu aku bawa teman sebagai saksi, jadi aku telepon temanku itu untuk meluruskan masalah ini. Melihat keributan di kos baru itu para tetangga kos pada ngumpul dan membantuku menyelesaikan masalah. Intinya aku tidak diterima kos disitu dan uangku dikembalikan. Salah seorang tetangga mengatakan bahwa ibu kos itu gila. Wah apes banget aku, lalu bagaimana barang-barangku ini nasibnya? Aku harus tinggal dimana?
Akhirnya temanku mengajakku sementara tinggal dirumahnya dan ia berjanji akan mencarikanku kos baru. Hari sudah mulai sore, perutku sudah mulai mual namun aku menahan diri agar tidak muntah. Beberapa saat kemudian, temanku datang dan mengajakku melihat tempat kos milik tetangganya. Tempatnya juga sederhana namun kotor. Aku tidak punya pilihan selain tinggal disana. Dan aku muntah lagi. Entah kenapa setiap jam 2 siang saat aku pulang kerja pasti aku muntah. Aku muntah di kamar kos. Karena aku selalu mengurung diri di kamar untuk muntah, itu membuat teman kosku lainnya membenciku karena tidak pernah bergaul. Bagaimana mau bergaul, sedangkan aku harus menyembunyikan diriku di kamar untuk muntah? Dalam hati aku ingin cepat pindah lagi dari sana.
Dari hari kehari aku semakin merasa tidak nyaman. Aku merasa berat hidup sendirian dengan muntah yang berkepanjangan. Tadinya ibu kosku mau mengerti kondisiku, beliau bahkan menunjukkan sebuah tempat praktek dokter untuk aku bisa berobat. Setiap seminggu sekali aku harus bangun jam 4 pagi, memasak nasi dan makan abon untuk pergi ke dokter yang bukanya jam 7 pagi. Dokter ini pasiennya sangat banyak sehingga aku harus antri dengan berangkat pagi. Aku harus naik angkutan kota menuju tempat praktek dokter ini. Alhasil aku harus terlambat masuk kantor seminggu sekali untuk berobat. Selama sebulan aku menjalani pengobatan namun tidak ada hasilnya. Suatu ketika aku benar-benar sudah tidak tahan dengan suasana kos yang tidak nyaman. Aku diam-diam berniat cari kos baru tanpa sepengetahuan ibu kosku. Namun ternyata ibu kos yang baru yang adalah tetangganya melaporkanku pada ibu kosku ini, akhrnya ia membenciku. Aku mencari lagi kos di gang sebelahnya lagi. Kos itu baru dibangun dan aku akhirnya pindah kesana. Aku senang karena disini aku tinggal sendirian. Tapi aku masih muntah juga setiap pulang kerja.
Masalah datang lagi saat kos baru itu mulai banyak penghuninya. Teman-teman kosku mulai tahu bahwa aku sering muntah-muntah dan parahnya lagi aku punya teman cowok yang mengantarkanku berobat ke dokter. Hampir setiap hari dia datang merawatku dan mereka pikir kami ini pacaran. Padahal ia hanya orang yang mau mengantarkanku berobat ke dokter dan memperhatikan kondisiku. Aku mengenalnya juga dari koran. Karena aku tidak kunjung sembuh, aku pernah mengirim surat ke surat kabar untuk meminta pendapat dari pembaca tentang penyakitku yang suka muntah-muntah ini. Ibu kosku mengira aku hamil dan semua penghuni kos membenciku. Mereka jijik setiap aku muntah-muntah di kamar. Mereka merasa terganggu dan mengancam akan pindah kos jika aku tidak diusir dari kos. Stresku makin tinggi. Aku tidak kuat menghadapi semua ini, Tiba-tiba HPku berdering. Ibu kosku meneleponku dan menyuruhku segera pindah dalam waktu seminggu. Alasannya sangat tidak masuk akal, ia bilang kamar itu akan ditempati anaknya yang akan menjaga kos itu. Jujur aku sangat sedih mendengar hal ini. Aku selalu bayar kos tepat waktu, hanya karena aku sakit aku diusir.
Teman cowokku mencarikanku kos baru. Kali ini kosnya lebih baik karena selain tidak ada penghuni kos, si pemilik kos adalah seorang dokter yang tidak tinggal di sana. Di kos itu cuma ada seorang pembantu dan anaknya perempuan yang tinggal di lantai 3 sedangkan aku tinggal di lantai 2. Aku mulai agak tenang karena ga sungkan jika muntah-muntah. Namun, lambat laun pembantu di kos itu tau kalau aku sering muntah. Akhirnya dia tak tahan dan keluar dari kerjaan. Kondisiku makin buruk, aku sering diopname dan akhirnya aku keluar kerja.
Aku harus pulang ke kampung halamanku. Mungkin ini jalan terbaik. Yah, aku mulai bisa merasakan perbedaan antara tinggal di rumah sendiri dengan kos. Mungkin jika aku tidak stress, semua hal ini tidak terjadi. Pesanku buat Anda sekalian yang membaca kisahku ini, jangan sampai stress merenggut kesehatan Anda sehingga muncul masalah-masalah lainnya. Belajar mengendalikan pikiran disaat semua masalah seakan menindih hidupmu. Itulah kisahku pindah kos dari kos satu ke kos lainnya.
0 comments:
Post a Comment