Selir Hati
Oleh : Moocen Susan
Tubuhku melemas ketika melihat kemesraan mereka. Rasa cinta bercampur benci ini masih memenuhi lubuk hatiku yang terdalam. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain menerima dengan ikhlas kepergiannya bersama wanita idamannya. Takdir telah memisahkan kami. Mungkin ini jalan terbaik untuk hubungan tanpa status yang telah kami bina selama kurang lebih empat tahun. Bukan waktu yang singkat bagi wanita bodoh sepertiku untuk mau mengikuti permainan cinta laki-laki brengsek sepertinya.
***
Hari cepat berlalu namun ingatanku tentang dia masih begitu kuat. Sejak pernikahannya dengan wanita itu, aku jadi sering menangis sedih meratapi kebodohanku. Sesekali aku buka akun facebook miliknya karena masih merindukannya tetapi setiap kali membaca postingan yang ia buat hatiku teriris pedih.
Hatiku berontak, “Aku tidak terima. Ini tidak adil bagiku. Ya Tuhan tolonglah aku karena aku masih mencintainya. Aku menunggu dudanya.”
Tanpa kusadari air mataku menetes kembali. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh kehadiran sahabatku yang datang bersama kekasihnya.
“Maya, sedang apa kamu disini sendirian? Kenalin ini calon suamiku, Mas Herman,” kata Susi
Aku menyambut perkenalan Herman, “Aku Maya,”
“Herman,” jawabnya singkat.
Kami duduk bertiga di café itu sambil menikmati jus pesanan kami masing-masing. Aku benar-benar iri melihat sahabatku yang terlihat bahagia bersama suaminya. Sepanjang obrolan kami aku melihat senyum kebahagiaan di wajah mereka berdua. Sangat berbeda denganku, hatiku menangis kembali namun aku tidak mungkin menunjukkan air mataku di depan mereka berdua.
“Eh, gimana kabar cowok kamu dulu? Itu lho yang pernah kamu certain ke aku. Siapa namanya ya?” Susi mencoba mengingat, “Oh ya, Hendra kan?”
Mendengar Susi menyebut namanya, aku makin sedih, “Sebenarnya kami sudah tidak berhubungan lagi, Sus.”
“Lho, kenapa May? Kalian putus?”
“Dia sudah menikah dengan wanita lain, Sus.”
“Apaaa?! Kapan?”
“Sebulan yang lalu,” jawabku lirih.
“Ya ampun, May. Kamu yang sabar ya, aku yakin kamu pasti dapat cowok yang lebih baik daripada dia,” Susi mencoba menghiburku.
Aku hanya terdiam tidak bisa berkata apa-apa lagi. Kalimat seperti itu rasanya sudah sering aku dengar, bahkan aku merasa tidak perlu mendengarnya lagi. Sejuta kata penghiburan yang dilontarkan orang kepadaku tidak mampu menyembuhkan sakit di hatiku yang dalam.
***
Aku berjalan menyusuri trotoar taman kota sambil menangis dan aku dikejutkan sekali lagi oleh kehadiran seorang laki-laki berbadan tegap dan tinggi. Laki-laki yang tak asing buatku. Sosok yang telah lama kunantikan dan kurindukan namun yang telah mendua. Entah perasaan apa yang harus kurasakan, sedih atau senang ketika bertemu dengannya. Wajahnya tampak pucat dan tatapan matanya sayu. “May…….”
“Ya Tuhan, seumur-umur baru kali ini aku mendengar ia menyebut namaku. Sejak dulu ia tak pernah mau menyebut namaku,” kataku dalam hati.
“May, kog diem aja sih? Kamu marah ya atau kamu benci padaku?”
“Untuk apa lagi kamu menemuiku? Bukankah sekarang kamu sudah bahagia bersama wanita idamanmu itu? Lalu kenapa sekarang kamu datang padaku? Kenapa?!” Bentakku sambil menangis.
Credit |
“Maafkan aku, Maya.” Kata Hendra sambil memelukku Aku tidak tahu harus berbuat apa ketika dia memelukku seperti ini, hanya kehangatan yang bisa kurasakan. Rasa benciku berubah menjadi rasa kasihan.
Hatiku luluh, seakan luka dihatiku perlahan-lahan terobati, namun aku tersadar kembali bahwa sekarang ini statusnya adalah suami orang. Segera aku lepaskan pelukannya.
“Hentikan! Jangan seperti ini, Kamu bukan Hendra yang kukenal lagi. Sekarang ini kamu sudah menikah. Tidak sepantasnya kamu menemuiku lagi. Hubungan kita sudah berakhir. Kamu sendiri yang mengakhirinya, kan?” Teriakku.
“May, beri aku kesempatan kedua. Aku baru sadar ternyata hanya kamu yang mencintaiku dengan tulus.”
“Aku bingung dengan perasaanku sendiri. Benarkah semua ini? Apakah aku harus memberikannya kesempatan lagi? Apakah ia benar-benar mencintaiku kali ini,” aku bertanya dalam hati tanpa tahu jawabnya, “Lalu bagaimana dengan istrimu?”
“Kami sedang mengurus surat cerai. Aku janji May, aku akan menikahimu.”
“Apa ? Cerai? Begitu mudahnya kalian bercerai? Tidak Hendra, aku memang sangat mencintaimu, tetapi kalau kamu seperti ini lebih baik kita tetap berpisah. Sekarang aku baru sadar bahwa kamu bukanlah laki-laki yang kuinginkan. Laki-laki yang begitu mudahnya menceraikan istrinya.”
Aku semakin yakin bahwa masih ada cinta sejati untukku dari laki-laki lain yang pantas menerima cintaku. Aku meninggalkan Hendra sendirian di taman kota itu.
0 comments:
Post a Comment