Senyum Renata (Flash Fiction)
Oleh : Moocen Susan
"Baru pulang, neng?” tanya pak satpam yang bertugas di rumah itu.
“Ya, pak. Biasa, anak muda pulang malam apalagi ini kan malam Minggu.” Jawab Renata sambil menutup pintu mobilnya.
Ia masuk ke dalam rumah dengan mengendap-endap karena takut dimarahi ayahnya. Lampu rumah itu sengaja dimatikan setiap malam diatas jam 22.00 WIB. Tanpa disadarinya, rupanya ayahnya sudah berdiri di depan pintu kamarnya.
“Darimana saja kamu malam-malam begini baru pulang?” tanya ayah mengagetkannya.
Sontak saja ia terkejut dan berbalik, “Eh ayah, maaf yah Rena tadi diajak makan-makan sama teman sampai larut malam di jalan mobil Rena mogok juga. Maaf ya yah?”
“Alasan saja kamu. Mulai besok kamu tidak boleh bawa mobil lagi!”
“Lho, kenapa yah? Masa gara-gara pulang malam aja dihukum sampai kayak gitu sih?”
“Pokoknya kamu harus menurut apa kata ayah karena ini demi kebaikan kamu juga. Akhir-akhir ini kejahatan makin banyak. Banyak orang nekad, apalagi kamu anak ayah satu-satunya. Ayah cuma enggak mau kamu celaka.”
Credit |
Renata merengut sambil masuk ke kamarnya. Ia merebahkan tubuhnya yang letih ke atas tempat tidur yang bernuansa pink bergambar hello kitty, kartun kesukaannya. Ia sedih karena ayahnya menahan mobilnya, salah satu hadiah peninggalan almarhumah mamanya di hari ulangtahunnya yang ke-17.
***
“Selamat pagi, Non. Ayo bangun sudah siang lho.” Kata Inem pembantunya yang masuk ke kamarnya untuk membangunkannya.
“Ah, masih ngantuk ah, lagian ngapain sih simbok masuk enggak ngetuk pintu dulu?”
“Maaf, Non abis dari tadi simbok udah ngetuk pintu Non ga denger.”
“Ya sudah, sana keluar dulu ganggu orang tidur aja! Uh….”
Renata suka membentak pembantunya ketika ia sedang badmood. Dengan sabar Inem keluar sambil membawa sapu yang tadinya akan digunakannya untuk membersihkan kamar Renata. Renata beranjak dari tempat tidurnya dan mandi. Inem masuk kembali ke kamar majikannya itu dan mulai membersihkannya.
“Ayah kemana, mbok? Kog sepi?” tanya Renata sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
“Hari ini Tuan ada meeting di Bandung. Beliau berangkat pagi tadi, Non. Oh ya, pesan Tuan hari ini Non tidak boleh membawa mobil kalau ke kampus.”
“Hah? Tega banget sih ayah. Masa aku harus naik angkot ke kampus? Ogah ah males. Mana kunci mobilnya?”
“Maaf Non, kunci mobilnya juga dibawa sama Tuan.”
“Terlalu banget deh, aku benci ayah. Aku benciiiii!!!!” teriak Renata sambil membanting pintu kamarnya. Ia mengambil handphone dan mulai menelepon ayahnya. Tapi rupanya handphone ayahnya tidak aktif. Ia makin kesal.
“Non, ayo sarapan dulu,” teriak Inem dari luar kamar Renata.
“Malesssss! Makan aja sendiri!” bentaknya.
“Non, ayo sarapan nanti non sakit lho kalau enggak makan.”
Renata membuka pintu kamarnya, “Heh, aku kan sudah bilang kalau lagi males. Jangan teriak-teriak lagi, ngerti kagak?!”
Ia menendang pembantunya hingga terjatuh. Entah darimana munculnya sikap arogan Renata itu, setiap ia marah selalu saja pembantunya yang dijadikan sasaran.
Hari sudah mulai siang, Renata belum juga keluar dari kamar. Inem merasa khawatir tetapi ia juga takut jika anak majikannya itu marah lagi. Telepon berdering, mbok Inem pun segera mengangkat telepon itu. Ternyata telepon itu untuk Renata. Mau tidak mau Inem harus memberanikan diri mengetuk pintu kamar Renata sekali lagi.
“Non, ada telepon.”
“Aduh...berisik amat sih! Dari siapa sih mbok?”
Renata keluar dengan rambutnya yang acak-acakan. Ia keluar dan menerima telepon itu. Tiba-tiba tangan Renata gemetaran, ia tak sanggup berkata-kata. Hanya air mata yang menetes keluar. Ia pun tergolek lemah dan membiarkan gagang telepon itu jatuh ke lantai.
Melihat Renata pingsan, mbok Inem terkejut dan ia segera menghampiri anak majikannya itu, "Non, ada apa non. Non kenapa?"
"Ayahku mbok...ayahku..."
"Iya, non. Ada apa dengan tuan, non?"
"Ayahku kecelakaan. Ayo mbok, antar aku ke rumah sakit. Cepat mbok!"
Mbok Inem pun segera memanggil sopir dan mengantar Renata menjenguk ayahnya di rumah sakit.
***
Sesampainya di rumah sakit, Renata mencari kamar ayahnya dirawat. Dokter keluar ruang pasien dan Renata segera menghampirinya.
"Dok, dokter bagaimana keadaan ayah saya?"
"Maaf, Anda apanya pasien ya?"
"Saya anaknya dok."
"Maaf kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi ...kami tidak berhasil menyelamatkan nyawa ayah Anda."
“Apa dok? Apa maksud dokter? Oh.. Ayahhhhh…..Tidaaaaakkkkk jangan pergi, yah. Jangan tinggalin Rena sendirian,” ia berlari masuk kamar pasien dan berteriak histeris.
Inem berusaha menenangkannya, “Non, sudah non ikhlaskan saja. Yang sabar ya, Non.”
“Tahu apa kamu? Sekarang aku yatim piatu. Aku kesepian, mbok.”
“Tenang, Non. Kan masih ada simbok yang menemani. Simbok enggak akan pernah ninggalin Non. Simbok sayang sama Non, karena Non Renata anak kandung simbok.”
Tamat
0 comments:
Post a Comment