Liku-liku Berobat ke Solo

   Sesuai rencana aku akhirnya mengantar bapakku untuk berobat ke Solo kemarin, hari Rabu, 28 Mei 2014. Dengan dijemput pamanku naik mobilnya kami berangkat dari Blora jam 04.00 WIB. Sebelum berangkat tentu aku sudah mempersiapkan segala keperluan baik itu surat-surat yang dibutuhkan seperti: kartu jamkesda asli, surat rekomendasi dari DKK, fotokopi (KK, KTP, Jamkesda, rujukan puskesmas, rujukan rumah sakit) rangkap 2 semua. 

  Selain itu karena aku mudah lapar di perjalanan sebelum waktunya makan orang normal, jadi aku membawa pisang (banyak amat kayak piknik), nasi 2 kotak buat makan pagi dan makan siang di mobil (karena kupikir agak parno juga makan di warung sembarangan), 1 Liter air mineral, dan masker 2 buah. 

   Sehari sebelum berangkat, biar aman aku memesan ayam goreng di warung langgananku pikirku mau makan nasi sama ayam aja. Nasinya aku masak sendiri jam 02.30 WIB biar ga telat berangkat. Penjual warungnya sudah bersedia menggorengkanku ayam pagi-pagi. Nah, aku jadi lega kan sudah persiapan lauk buat sarapan. Tetapi yang namanya manusia itu tidak bisa diharapkan, karena kalau kita mengharapkan manusia, kita akan kecewa. 

   Pagi-pagi benar sesuai janji kami, aku pergi ke warungnya untuk mengambil ayam goreng pesananku tapi ternyata dia ingkar janji. Kutelepon ga diangkat, kecewa iya karena aku sudah sangat mengandalkannya, untungnya Tuhan memberiku ketenangan lewat bapakku. “Nanti saja beli ayam di purwodadi” bujuk bapakku. Memang sih, buat orang normal makan dimana saja gampang, tapi buatku yang lemah pencernaan agak takut salah makan apalagi di tempat yang tidak biasa, Ini berarti aku berangkat cuma bawa nasi putih 2 kotak. 

   Beberapa saat pamanku datang dan mau tak mau aku harus tetap berangkat meski ga ada lauk dan belum sarapan. Kesentor AC di mobil plus belum sarapan dan di sepanjang perjalanan mobilnya goyang terus karena jalanan rusak membuatku masuk angin dan mual-mual. Perut rasanya diubek-ubek, kepalaku pusing dan rasanya tersiksa banget di dalam mobil. Untuk mengisi kekosongan lambungku, aku makan pisang dan minum air. Biasanya kalau di rumah jam segitu aku belum lapar, tapi kalau di jalan entah kenapa aku mudah lapar banget. 

   Beberapa kali terjadi kemacetan di jalan karena ada perbaikan jalan di beberapa area. Kemacetan hampir sejam dan ini membuatku agak panik takut telat ke rumah sakitnya. Tiba-tiba ada sms masuk dari warung langgananku dia bilang warungnya libur. “Kok aneh, kemarin katanya buka kok sekarang bilang libur tiba-tiba?” aku merasa kecewa sekali. Aku mudah kecewa pada orang yang sudah janji tapi ga pegang komitmen. Jadi intinya jangan mudah percaya dan berharap sama manusia. Ini lho hasilnya. 

   Dalam keadaan pusing dan badan sakit semua ada telepon masuk nawari asuransi pula, duh makin mumet aku. Ini ngantar bapakku yang sakit kok malah aku yang jadi sakit sendiri. Karena ga kuat aku akhirnya tidur di pangkuan bapakku. Bapakku mah keliatan happy-happy aja di perjalanan karena beliau orangnya tenang menghadapi apapun beda sama aku yang mudah cemas. 

   Sampai di Purwodadi hampir 4 jam kemudian karena macet berkali-kali. Kami berhenti sebentar buat sarapan di warung. Di situ menjual beraneka macam masakan dan boleh ambil sendiri. Karena aku dari tadi pengennya ayam goreng maka pandanganku langsung tertuju di wajan berisi penuh ayam goreng. Nah ini dia yang kucari, tapi agak parno juga karena ga tau bumbunya apa aja takutnya dia pake bumbu instan yang mana lambungku ga mau terima. Duh masalah makan jadi beban sepanjang hidupku kayaknya. Ada sayur bayam juga, ya udah aku ambil sayur bayamnya. Makan dengan rasa cemas itu emang ga enak ya. Oleh sebab itu ketika makan rasanya mau muntah sudah dari tadi mual di mobil karena telat makan nasi. Tapi aku tetap berusaha positif thinking. Aku ambil ayam goreng 1 lagi buat makan siang nanti. 

   Setelah kami selesai sarapan, kami melanjutkan perjalanan ke Solo. Adikku mengabari kalau ia juga sudah berangkat dari Semarang naik motor. Pamanku yang di Solo juga sudah menunggu di rumah sakitnya. Jauh dari rencana kami sebelumnya, tadinya aku bingung nyari travel karena ga ada travel yang bisa nganter tepat di rumah sakitnya, bingung soal penginepan karena pikirnya mau berangkat sehari sebelumnya, dan semua rencana tadi berubah total. Kami ga jadi nginep karena diantar paman naik mobilnya jadi bisa langsung nyampe rumah sakit. 

   Baru jam 10.30 WIB akhirnya sampe di RS. Moewardi Solo. Benar juga bacaan di internet kemarin kalau di sana area parkirnya sangat sempit dan susah nyari tempat parkir. Pamanku yang sedari tadi menunggu di depan rumah sakit akhirnya menghampiri mobil kami. Badanku sudah geloyoran mau jatuh, tapi harus tetap kuat demi bapakku. 

   Di rumah sakit itu ternyata buanyak sekali pasiennya. Banyak loket-loket pendaftaran dan aku bingung mau daftar dimana. Aku bertanya ke satpam dan ada petugas yang duduk di samping pintu. “Mbak kalau mau daftar untuk periksa bagian Pulmonulogi di mana ya?” 

   Lalu dia memberikan kartu antrian dan aku disuruh bertanya lagi ke bagian informasi mau daftar dimana. Dari bagian informasi aku ditanya apakah aku sudah pernah berobat disitu apa belum? Dia memberiku secarik kertas pendaftaran dan aku disuruh ke bagian pendaftaran pasien rawat jalan. Dia cuma nunjuk ke kanan kekiri masuk notok dst. Karena aku agak kurang fit jadi susah berkonsentrasi, aku jalan sebentar dan balik tanya lagi, “Mbak aku bingung, dimana sih?” 

   Lalu dia menunjukkan lagi tempatnya. Bagi yang baru pertama kali ke rumah sakit ini pasti bingung kalau ga nanya. Pokoknya jangan malu bertanya biar ga sesat di jalan. Setelah ketemu tempat daftarnya aku mengantri lagi sesuai nomor. Beberapa saat kemudian, adikku datang menghampiriku dan menemaniku mengantri bersama pamanku juga. 

   Setelah tiba giliranku dipanggil, aku memberikan semua berkas-berkas yang diperlukan. "Mbak, nanti mbaknya langsung ke bagian MDR TB di situ ada petugas dan mbak kasih aja surat-surat ini, kalau memang harus dirawat bukan pake jamkesda lagi tapi akan dapat pengobatan gratis dari pemerintah." kata petugasnya.

    Mendengar itu aku agak lega dan langsung menuju ke bagian MDR TB yang ada di dekat Ruang Cendana. Sampai di ruang itu ada 1 petugas yang sedang sibuk di meja kerjanya. Waktu aku masuk langsung disuruh pakai masker. Untung sudah persiapan bawa masker dari rumah. Aku sempat dibuat menunggu di depan meja kerjanya. Tampangnya sangat tidak bersahabat dan kurang ramah melayani. Aku agak takut sama orang yang keliatan garang. Jadi aku sangat hati-hati kalau ngomong takut disemprot. Tapi aku berusaha tetap tenang. 
 
hasil foto thorax terakhir bapak
    Aku menyerahkan semua berkas yang sudah kupersiapkan dengan matang dari rumah. Dia pun memeriksa satu persatu. Kupikir sudah semua. Eh dia langsung bilang, “Wah ga bisa ini. Ga ada lampiran hasil dahaknya. Saya ga bisa terima ini. Kamu harus periksa dahak dulu di daerahmu sana dan kalau positif baru kesini lagi maksimal 1 bulan. Ini bagaimana kalau seperti ini Cuma riwayat saja ga ada hasil labnya. Sudah sekarang kamu kembali aja dan pakai prosedur yang benar." (dia membentakku sambil menunjuk-nunjukan jarinya ke arahku) 

   Tapi dari pihak dokternya ga bilang apa-apa, katanya cukup menyerahkan surat rekomendasi aja sudah cukup. Kami pasien kan manut saja dan percaya sama apa kata dokter. Ya kalau balik ke blora lagi cuma buat periksa dahak sia sia dong perjalanan kami jauh jauh dari blora kemari. Aku tidak menyerah, Memang ga bisa periksa disini pak? Oh ga bisa, ini prosedurnya harus periksa di Blora sana. Dan andaikan hasilnya negative kami juga tetep ga bisa terima."

    “Tapi masalahnya bapak saya itu ga bisa keluar dahaknya meski sudah diminumi obat pengencer dahak pak.” 

   “Nah apalagi itu, pokoknya kalau ga ada hasil tes dahak kami ga bisa terima!” Wah aku makin bingung dan kecewa. 

   Aku keluar dalam keadaan lesu dan pamanku serta bapak dan adikku menghampiriku dan bertanya bagaimana hasilnya. Aku menceritakan semuanya lalu adikku menyarankanku langsung telepon dokter di blora yang memberi rujukan ke rumah sakit ini. 

   Ketika pamanku hendak menelepon, tiba-tiba petugas tadi keluar dan meminta telepon itu lalu bicara langsung dengan dokterku.entah apa kata dokterku, aku kembali menelepon dokterku bagaimana sebaiknya ini. Kan bapak ga bisa keluar dahak, dulu sebelum dirontgen memang sudah pernah periksa dahak tapi itu sudah lama sekali hasilnya negative tapi hasil rontgennya parunya bermasalah. Dan dikasih obat TB selama setahun. 

   Dokterku bilang aku harus minta rujukan balik dari RS untuk berobat kembali di Blora. Kemudian, aku masuk kembali keruangan petugasnya dan minta rujukan seperti kata dokterku. (ini serasa aku yang dipingpong) 

  Tapi aku kembali menelan pil pahit, dia tidak mau memberikan rujukannya. Alasannya kami rumah sakit besar masa memberi rujukan kok ke rumah sakit kecil? Akhirnya aku keluar lagi dan sms dokterku. 

   "Gimana nih bu, petugasnya ga mau kasih rekomendasi. Alasannya blab la bla … " dan sms dokterku mengatakan "ya sudah gpp katanya. Berobat di blora lagi."

    Beuh.. capek deh..@! Jadi intinya perjalanan kami tidak membuahkan hasil. Bapakku juga kecewa, semua kecewa. Tapi kami harus tetap bersyukur. Mungkin memang ini kehendak Tuhan ya pak, dari kemarin mau cari transport kesini udah susah, cari penginepan ga jadi, harusnya sudah jadi isyarat kalau belum dikehendaki Tuhan. 

   Aku bingung, karena dokter disini juga hampir nyerah lihat kondisi paru-paru bapakku yang makin parah. Sedangkan kalau mau periksa ke Solo hasil dahaknya harus BTA(+), sedangkan bapakku dulunya negatif dan kalau dahak lagi sekarang ga bisa keluar meski sudah diminumi obat pengencer dahak. 

   Sekarang logikanya gini : kalau mereka hanya mau terima  untuk pasien TB dengan hasil dahak BTA (+) lalu menolak yang BTA (-) apa yang perlu pengobatan hanya BTA (+) saja? lalu nasibnya pasien hasil BTA (-) gimana? Apa ga perlu diobati juga? Apa petugasnya tidak mikir gimana jauhnya kita menempuh perjalanan dari Blora ke Solo berjam-jam pake macet segala, bolak balik cuma buat periksa dahak sedangkan dahaknya aja ga bisa keluar. Kami konsultasi soal dahak ga bisa keluar itu di puskesmas dan rumah sakit blora juga lho. Karena ga bisa keluar dahak itu makanya kami dirujuk ke Solo. Kalau bicara soal prosedur kami sudah ikuti prosedur kok, tapi menurut petugas dari pihak rumah sakit di Solo,  prosedur yang benar itu hasilnya harus BTA(+) baru bisa diterima dan diobati. Kan lucu? 

   Saya juga bertanya apa tidak bisa periksa dahak disini saja? masa harus pulang Blora lagi cuma periksa dahak apalagi ini rumah sakit besar. Masa periksa dahak aja ga bisa? Katanya karena kami pakai jamkesda jadi karena gratis harus periksanya di kota asal kami. Kalau disini bayar Rp.600.000,-.

   Entahlah kami cuma bisa pasrah pada Tuhan bagaimana selanjutnya pengobatan yang benar untuk bapakku. Kemana lagi harus berobat? Bila teman-teman pembaca tahu solusinya saya akan sangat berterimakasih untuk komentarnya. 

NB : Ini laporan hasil rontgen bapakku :
Pembacaan :
Thorax : simetris, inspirasi cukup dan kondisi cukup, hasil :
  • tampak konsolidasi di kedua apeks pulmo dengan gambaran infiltrat dan fibrosis 
  • sinus costo frenicus kanan kiri lancip 
  • diafragma kanan-kiri licin 
  • Cor :  CTR < 0,5 
  • sistema tulang yang tervisualisasi intak

Kesan : TB Pulmo lesia luas dengan tanda aktif, besar Cor normal

0 comments:

Post a Comment